REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengatakan, hujan intensitas tinggi yang terjadi Selasa (25/2) ini dan 1 Januari 2020 lalu, bukan semata-mata karena fenomena alam dari pengulangan kondisi ekstrim. Menurutnya, cuaca ekstrim juga disebabkan tren kenaikan suhu atau temperatur di sejumlah wilayah Indonesia.
"Itu dampaknya nyata dari data-data terjadinya peningkatan suhu udara dan juga peningkatan cuaca ektsrim yang intensitasnya semakin ekstrim dan kejadiannya semakin sering," ujar Dwikorita dalam konferensi pers di kantor BMKG, Jakarta Pusat, Selasa (25/2).
Ia membandingkan tren kenaikan suhu rata-rata antara tahun 1981-2010 dan 2010-2019. Pada 10 tahun terakhir ini, ada kenaikan suhu mulai dari 0,01 derajat celsius di Maluku sampai yang tertinggi 1,03 derajat celsius di Banten dan 1,13 derajat celsius di Kepulauan Riau.
Padahal, kata Dwikorita, rentang waktunya tidak terlalu lama tetapi kenaimannya sudah mencapai satu derajat celsius lebih yang bervariasi di seluruh wilayah Indonesia. Dengan demikian, tren kenaikan suhu ini harus diwaspadai sebagai indikator perubahan iklim global yang berdampak iklim lokal di Indonesia.
Berdasarkan hasil observasi dan analisis BMKG, penyebab utama kenaikan suhu ini ada korelasi signifikan dengan kandungan gas rumah kaca di wilayah Tanah Air. Dwikorita mengungkapkan, kadar karbon dioksida (CO2) mencapai rekor tertinggi dengan konsentrasi CO2 di angka 407,8 bagian per juta (ppm) di wilayah Indonesia.
"Poinnya adalah emisi gas rumah kaca di wilayah Indonesia ini terjadi peningkatan.
Meskipun relatif sedikit lebih rendah di bawah rata-rata dunia. Dunia juga meningkat dan rata-ratanya kita sedikit lebih rendah dari rata-rata dunia," jelas dia.
Ia menambahkan, peningkatan kandungan rumah kaca itu seiring kenaikan CO2 dari transportasu, industri yang tidak ramah lingkungan, hijau daun yang menjerat CO2 semakin berkurang. Apabila tidak dimitigasi, kata dia, cuaca ekstrim akan semakin serinf terjadi bahkan setiap tahun.
"Apabila ini semua tidak dimitigasi tentunya kejadian ekstrim ini akan semakin sering terjadi bahkan bisa setiap tahun, data kita membuktikan setiap tahun makin sering terjadi ekstrim," tutur Dwikorita.