Kamis 20 Feb 2020 15:23 WIB

RUU Ciptaker, Pemerintah Dinilai tak Paham Situasi Daerah

Urusan Pemda harus dituangkan dalam UU, bukan peraturan turunannya

Rep: Mimi Kartika/ Red: Esthi Maharani
Kontroversi Omnibus Law RUU Cipta Kerja
Kontroversi Omnibus Law RUU Cipta Kerja

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng mengkhawatirkan pemerintah pusat tak memahami situasi riil pemerintahan daerah ketika menyusun draf Rancangan Undang-Undang tentang Cipta Kerja (RUU Ciptaker). Sebab, rancangan beleid itu justru menyebutkan presiden berwenang melaksanakan urusan pemerintahan daerah.

"Kita lihat ini kan pusat ini kan merasa gampang, saya tuh takutnya pemerintah pusat kita itu enggak mengerti situasi riil pemerintahan daerah. Kita itu berpikir kalau begini, (pemerintah daerah) semua akan ikut," ujar Robert kepada wartawan di kawasan Jakarta Pusat, Kamis (20/2).

Ia menjelaskan, ketika urusan pemerintahan daerah menjadi kewenangan presiden, pemerintah daerah (pemda) kemudian tak dapat melaksanakan urusan yang sudah diambil pemerintah pusat itu. Pemerintah pusat juga tak bisa begitu saja memberikan kewenangan kepada pemda untuk menjalankan urusan pemerintahan melalui peraturan pelaksanaan dengan peraturan pemerintah (PP) atau peraturan presiden.

Sebab, kata Robert, urusan pemerintahan daerah harus dituangkan dalam undang-undang, bukan peraturan turunannya. Menurut dia keliru ketika pemerintah pusat menerbitkan PP pelaksanaan RUU Ciptaker yang mengatur Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NPSK) untuk dilakukan pemerintahan daerah.

"Jadi kalau yang dimaksud Pak Sekjen (Kemenko Perekonomian) otonomi dipertahankan dan itu masih bisa diatur di level PP, itu dia bicara tata caranya, lah bagaimana mau mengatur tata caranya kalau kemudian barangnya itu enggak di pemda," kata Robert.

Sehingga, ia menegaskan, draf RUU Ciptaker sarat sentralisasi karena ada peralihan kewenangan pemda ke pemerintah pusat. Padahal, otonomi daerah mandat dari konstitusi bukan presiden, hal itu tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18.

"Bahwa otonomi itu soal mandat konstitusi, yang kedua pengaturan soal penyerahan urusan itu harus undang-undang, jadi enggak bisa kemudian alasannya akan tetap otonomi tapi nanti mengaturnya ke PP," lanjut Robert.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement