Selasa 18 Feb 2020 20:41 WIB

Omnibus Law Dinilai Berpotensi Ancam Kebebasan Pers

Dewan Pers mengaku kaget pemerintah seret UU Pers dalam draf Omnibus Law Cipta Kerja.

Rep: Ali Mansur, Fauziah Mursid/ Red: Andri Saubani
Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers menggelar konferensi pers terkait RUU Omnisbus Law Cilaka yang menyasar dunia pers, di Gedung Dewan Pers, Jakarta Pusat, Selasa (18/2).
Foto: Republika/Ali Mansur
Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers menggelar konferensi pers terkait RUU Omnisbus Law Cilaka yang menyasar dunia pers, di Gedung Dewan Pers, Jakarta Pusat, Selasa (18/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah organisasi pers mempertanyakan urgensi diseretnya pasal dalam Undang Undang 40/1999 tentang Pers ke dalam Omnibus Law Cipta Kerja. Setidaknya ada dua pasal yang akan diubah, yaitu soal modal asing dan ketentuan pidana, serta sanksi yang diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP).

Menanggapi hal itu, Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers Agung Dharmajaya mengaku terkejut dan tidak percaya. Bahkan hingga saat ini, pihaknya tidak dilibatkan sama sekali dalam menyusun draft Omnibus Law.

Baca Juga

"Kalau sampai tidak melibatkan komunitas pers saya rasa ini aneh. Karena Undang-undang Pers disusun bukan oleh pemerintah," ujar Agung di Gedung Dewan Pers, Jakarta Pusat, Selasa (18/2).

Menurut Agung, salah satu subtansi dari kebebasan pers adalah self regulation. Artinya, pers diberi kewenangan merumuskan aturan dan mengatur dirinya sendiri tanpa ada campur tangan dari pemerintah.

"Sehingga ketentuan-ketentuan dalam UU 40/1999 tidak diturunkan dalam bentuk PP. Karena PP itu produk dari pemerintah bukan Dewan Pers," kata Agung.

Lebih lanjut, Agung menjelaskan, peraturan Dewan Pers dibuat oleh organisasi-organisasi pers dan masyarakat, termasuk tokoh-tokoh pers yang diinisiasi Dewan Pers. Adapun pembuatan aturan tersebut dilakukan melalui serangkaian FGD dan diskusi. Setelah mengkristal baru dibawa ke Rapat Pleno Dewan Pers untuk disahkan menjadi peraturan Dewan Pers.

Sementara itu, Agung diseretnya peraturan tentang pers ke Omnibus Law membuka pintu pada pemerintah untuk mengatur melalui PP maka ini bermakna bahwa pemerintah berusaha mencabut rezim self regulation. Maka jika itu terjadi kebebasan pers akan terancam.

"Artinya ketika pemerintah bisa mengatur pers melalui PP maka selesai sudah kemerdekaan pers," keluhnya.

Selain itu, Agung juga mempertanyakan adanya revisi yang menaikkan sanksi atau denda terhadap insan pers dan media yang melanggar ketentuan pers. Padahal dalam aturan pers sebelumnya, denda yang dikenakan maksimal Rp 500 juta. Namun dalam draft Omnibus Law diubah menjadi menjadi Rp 2 milyar.

"Saya kira apa urgensinya menaikkan denda? Selama ini dendanya kan 500 juta dan diubah jadi Rp 2 miliar. Apa ingin menaikkan pendapatan negara dari nonpajak?" tanyanya dengan heran.

Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate menyatakan, pemerintah terbuka untuk menerima kritikan dan masukan yang bersifat konstruktif dalam proses pembahasan Omnibus Law Cipta Kerja antara pemerintah dan DPR.

"Jika ada masukan yang konstruktif mohon dapat segera disampaikan agar bisa didiskusikan secara lebih komprehensif pada saat pembahasan dan proses politik di DPR RI," ujar Johnny, Senin (17/2).

Karena itu, politikus Partai Nasdem itu mempersilakan pihak-pihak yang keberatan untuk memberikan masukan terhadap poin-poin yang dianggap merugikan kepentingan masyarakat. "Pemerintah menyiapkan RUU Cipta Kerja dengan maksud yang sangat baik bagi bangsa kita maka tentu akan terbuka untuk setiap diskusi yang konstruktif," ujar mantan anggota Komisi IX DPR tersebut.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement