Senin 17 Feb 2020 18:49 WIB

Fahri Hamzah: Pemerintah tak Perlu Repot Bikin Omnibus Law

Fahri menilai keberadaan Omnibus Law rentan dipersoalkan publik.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Andi Nur Aminah
Wakil Ketua Umum Partai Golkar Rizal Mallarangeng (kanan) bersama Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah (kiri) saat diskusi pada acara Mukadimah dan Peluncuran Nagara Institute, serta rilis  Daerah Terpapar Dinasti Politik sebagai Dampak Oligarki Politik di Jakarta, Senin (17/2).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Wakil Ketua Umum Partai Golkar Rizal Mallarangeng (kanan) bersama Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah (kiri) saat diskusi pada acara Mukadimah dan Peluncuran Nagara Institute, serta rilis Daerah Terpapar Dinasti Politik sebagai Dampak Oligarki Politik di Jakarta, Senin (17/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah mengatakan, pemerintah seharusnya tak perlu repot-repot menyusun pengaturan Omnibus Law. Hal itu ia sampaikan untuk menanggapi draf Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja yang menuai polemik berbagai pihak terkait.

"Enggak perlu repot, kita enggak biasa bikin begini-begini, nanti jadi kacau," ujar Fahri usai diskusi di kawasan Senayan, Jakarta, Senin (17/2).

Baca Juga

Salah satu pendiri Partai Gelombang Rakyat (Gelora) itu menilai keberadaan Omnibus Law rentan dipersoalkan publik. Sebab, tujuan Omnibus Law yang menyatukan sejumlah undang-undang agar aturan sederhana justru berpotensi menimbulkan tidak sinkronnya antarperaturan tersebut.

Menurut Fahri, hal itu tercermin dari berbagai respons publik dan kalangan seperti serikat pekerja yang menentang RUU Cipta Kerja. Bukan tidak mungkin jika di tengah jalan aturan ini digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan hakim MK dapat memutuskan jika peraturan tersebut bertentangan dengan konstitusi.

Ia melanjutkan, apabila hal itu terjadi, justru akan mengacaukan peraturan-peraturan lainnya yang dimuat dalam Omnibus Law Cipta Kerja. "Daripada itu diikat dalam undang-undang nanti di tengah jalan undang-undang harus disinkronisasi dengan yang lain, di tengah jalan nanti di judicial review di MK, misalnya hakimnya menjatuhkan, mematahkan, maka semua aturan lain jadi kacau," tutur dia.

Menurut Fahri, presiden dapat menggunakan kewenangannya menyinkronkan semua aturan teknis dalam peraturan di bawah undang-undang. Presiden dapat menyelesaikan permasalahan tumpang tindih aturan di level eksekutif. "Kalau saya ya, mendingan presiden gunakan presidensialismenya untuk menyinkronkan semua aturan teknis yang ada masalah. Panggil semua stakeholder-nya selesai, selesaikan secara sepihak di eksekutif," lanjut dia.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement