REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- DPP Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) mengapresiasi Forum Konsultasi Publik I yang dilakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Komisi Pemangku-Kepentingan dan Konsultasi Publik (KP2) dengan melibatkan para pemangku kebijakan kelautan dan perikanan beberapa waktu lalu. Ketua Pelaksana Harian DPP KNTI Dani Setiawan mengatakan forum tersebut merupakan insiatif yang baik dalam menggelar proses dialog sebelum memutuskan sebuah kebijakan.
"Ini perlu terus-menerus dilakukan pemerintah agar kebijakan yang diambil benar-benar mencerminkan kepentingan pemangku kepentingan, terutama nelayan kecil dan tradisional yang selama ini sangat jarang dilibatkan dalan forum sebelum mengambil kebijakan," ujar Dani dalam dialog bertajuk "Memastikan Keadilan Sebagai Sumbu dan Ujung Kebijakan Kelautan dan Perikanan" di Kantor DPP KNTI, Jakarta Selatan, Senin (17/2).
Meski begitu, KNTI mencatat ada beberapa hal yang perlu diperbaiki. Dani menilai perlu ada pendalaman lebih lanjut mengenai sejumlah bahasan lantaran banyaknya peserta dan peraturan menteri (permen) yang akan direvisi. Dalam forum tersebut, Menteri KKP Edhy Prabowo memaparkan Arah Baru Kebijakan Kelautan Perikanan, termasuk rencana pemerintah merevisi 29 Peraturan di bidang kelautan dan perikanan.
KNTI mendorong mendorong KP2 membentuk komite-komite terkait seperti lobster, nelayan kecil dan tradisional, tuna, dan orang-orang yang dianggap representasi dari pelaku usaha perikanan, akademisi, pemerintah, dan organisasi nelayan.
"Hal tersebut merupakan prasyarat penting agar proses konsultasi publik dan pengambilan kebijakan lebih terarah dan menghasilkan kebijakan yang adil dan bertanggung jawab," ucap Dani.
DPP KNTI, lanjut Dani akan menyampaikan masukan dan catatan kritis atas perubahan Permen yang akan dilakukan. Pada intinya, KNTI memperingatkan pemerintah agar perubahan tersebut dilakukan untuk memperkuat instrumen operasional perlindungan terhadap nelayan dan pembudidaya skala kecil dan tradisional, mendorong terjadinya transformasi struktur ekonomi pelaku usaha perikanan yang lebih adil, dan tetap menegaskan pelarangan terhadap penggunaan alat tangkap trawls atau sejenisnya, memperkuat instrumen HAM, meningkatkan produktivitas perikanan budidaya, serta orientasi pada keberlanjutan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan.
Dani melihat arah baru kebijakan kelautan dan perikanan yang disampaikan pada Forum Konsultasi Publik I belum menunjukan upaya yang sungguh-sungguh dalam menjawab tiga persoalan utama: pencurian ikan, kerusakan lingkungan pesisir dan laut, serta ketimpangan ekonomi antarpelaku usaha perikanan.
KNTI, kata Dani, menilai arah baru kebijakan kelautan dan perikanan harus mencakup setidaknya tiga komponen utama. Pertama, transformasi struktur ekonomi dan industri perikanan nasional menjadi lebih adil dan kuat.
Dani meminta kapal-kapal ikan Indonesia ukuran menengah dan besar harus mengisi perairan ZEEI dan internasional. Pemerintah juga berkewajiban mendorong para nelayan kecil dan tradisional berhimpun dalam koperasi agar dapat mengelola perairan kepulauan dalam skala ekonomi.
"Kemitraan antara koperasi nelayan dan pembudidaya ikan dengan pelaku usaha menengah dan besar akan memperkuat daya saing industri perikanan nasional," kata Dani.
Poin kedua, KNTI mendorong KKP melakukan transformasi perikanan tangkap ke perikanan budidaya. Dani menyebut masa depan pangan laut berada di sektor budidaya. KNTI meminta pemerintah mengoptimalkan SDM dan teknologi dalam meningkatkan pertumbuhan perikanan budidaya di dalam negeri.
Ketiga, KNTI meminta pemerintah melakukan tansformasi model pengelolaan perikanan yang sebelumnya eksploitatif dan hanya fokus pada komoditas, menuju arah perikanan berkelanjutan dengan fokus pada kesejahteraan pelaku perikanan.
"Oleh karena itu, penggunaan trawl dan jenis alat tangkap merusak lainnya harus dipastikan tidak lagi beroperasi di seluruh perairan Indonesia," lanjut Dani.