Jumat 14 Feb 2020 19:19 WIB

Kejakgung: Kasus Jiwasraya Bukan Kejahatan Konvensional

Penyidik di Kejakgung menyebut kasus jiwasraya bukan kejahatan konvesional.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Bayu Hermawan
Asuransi Jiwasraya.
Foto: Tim Infografis Republika.co.id
Asuransi Jiwasraya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Penyidikan di Direktorat Pidana Khusus Kejaksaan Agung (Dirpidsus Kejakgung) Febri Adriansya mengatakan, kasus dugaan korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dalam kasus PT Asuransi Jiwasraya, bukan aksi kejahatan yang biasa. Hal itu berdasarkan besaran potensi kerugian negara, pola aksi tindak kejahatan yang melibatkan banyak orang dan berlangsung lama.

Tak cuma perorangan, dalam kasus dugaan korupsi dan TPPU Jiwasraya, juga melibatkan korporasi swasta sebagai sarana transaksi saham dan reksadana. "Jadi ini (kasus Jiwasraya), bukan model kejahatan yang konvensional. Bobol uang Jiwasraya, dengan cara sekali transaksi, tidak. Berkali-kali. Dalam waktu yang cukup lama," jelas Febri.

Baca Juga

Febri mengatakan, penyidikan di Kejakgung menelusuri proses pembelian saham dengan cara pengalihan keuangan dari Jiwasraya ke banyak perusahaan sejak 2008 sampai 2018. "Sehingga kerugian negara yang ditimbulkan ini cukup besar sekali dan akan terus bertambah," ucap Febri.

Tim penyidik, kata dia, semula meyakini angka kerugian negara yang dialami BUMN asuransi itu, semula sekitar Rp 13,7 triliun.  Akan tetapi, Febri menerangkan, proses penyidikan berjalan meyakini, kerugian negara sudah mencapai Rp 17 triliun.

"Tetapi nanti kita menunggu hasil pengitungan real-nya (pastinya) berapa dari BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) yang melakukan audit kerugian negara," jelas Febri. BPK menjanjikan, perampungan audit investigasi kerugian negara dari kasus Jiwasraya, pada akhir bulan ini.

Febri menerangkan, kasus Jiwasraya ini memang dapat dibilang sebagai kejahatan ekonomi. Karena yang terjadi dalam kasus tersebut, merupakan pola investasi saham dan reksadana. Akan tetapi, dalam proses investasi saham dan reksadana tersebut, sarat dengan korupsi. Kata dia, Jiwasraya membeli saham dan reksadana milik sejumlah perusahaan yang bermasalah. Saham dan reksadana yang dibeli tersebut, pun berkualitas buruk dan tak liquid yang menyebabkan kerugian negara.

"Saham yang dibeli itu yang kita ketahui faktanya dari alat bukti, saham-saham yang digoreng-goreng sehingga mencapai harga yang tinggi," kata Febri.

Keputusan pembelian saham dan reksadana oleh Jiwasraya itu, pun bermasalah di internal manajemen. Karena mengabaikan semua analisa, dan bermaksud hanya menguntungkan sejumlah petingginya sendiri.  "Karena itulah, dia menimbulkan kerugian keuangan negara," ucapnya.

Febri, pekan lalu juga pernah menegaskan, meski kasus Jiwasraya ini menyangkut soal jual beli saham dan reksadana oleh Jiwasraya, tetapi penyidik meyakini perkara ini, bukan risiko bisnis. Melainkan, kejahatan yang terstruktur dan terencana, untuk menguntungkan diri bersama-sama, yang bersumber dari keuangan negara. Sejumlah pihak yang menikmati pembelian saham dan reksadana dari Jiwasraya, itupun menyamarkan hasil perbuatannya dengan cara TPPU.

Sampai saat ini, Kejakgung sudah menahan enam tersangka dalam penyidikan Jiwasraya. Mereka antara lain, tiga orang pebisnis Benny Tjokrosaputro, Heru Hidayat, dan Joko Hartono Tirto. Tiga lainnya, yakni para mantan petinggi Jiwasraya, yakni Hendrisman Rahim, Harry Prasetyo, dan Syahmirwan.

Keenam tersangka tersebut, dijerat sementara ini menggunakan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) 20/2001. Namun khusus Benny dan Heru, kedua tersangka itu ditambahkan tuduhan menggunakan pasal-pasal dalam UU TPPU. Benny dan Heru, penyidik yakini menggunakan keuntungan dari hasil korupsi pengalihan dana Jiwasraya ke dalam perusahaan, dengan cara melakukan pencucian uang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement