REPUBLIKA.CO.ID, Ali Mansur, Febrianto Adi Saputro, Fauziah Mursid
Ketua Departemen Komunikasi dan Media Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Kahar S Cahyono membeberkan pasal-pasal kontroversial di Omnibus Law Cipta Kerja. Termasuk penghapusan pasal-pasal terkait ketenagakerjaan yang dinilai akan berdampak kepada para pekerja atau kaum buruh.
Menurut Kahar, dalam RUU Cipta Kerja di Omnibus Law bab Ketenagakerjaan disebutkan bahwa Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dihapus. "Dengan dihapusnya Pasal 59, maka penggunaan pekerja kontrak bisa diperlakukan untuk semua jenis pekerjaan," kritik Kahar dalam keterangan tertulisnya, Jumat (14/2).
Padahal, lanjut Kahar, dalam Undang-undang Ketenagakerjaan pekerja kontrak hanya dapat digunakan untuk pekerjaan tertentu. Yakni, menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu. Di antaranya, pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya.
"Juga pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama tiga tahun, pekerjaan yang bersifat musiman atau pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan.yang masih dalam percobaan atau penjajakan," ungkapnya
Selain itu, Kahar menegaskan, pekerja kontrak tidak dapat digunakan untuk jenis pekerjaan yang bersifat tetap. Dengan demikian, berdasarkan pasal ini, selain pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu harus menggunakan pekerja tetap.
"Dengan dihapuskannya pasal 59, tidak ada lagi batasan seorang pekerja bisa dikontrak. Akibatnya, bisa saja seorang pekerja dikontrak seumur hidup," terang Kahar.
Kahar menambahkan, padahal dalam Pasal 59 UU Ketenagakerjaan juga diatur, pekerja kontrak hanya dapat diadakan untuk paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun. Setelah itu, bisa dilakukan pembaharuan sebanyak satu kali untuk jangka waktu paling lama dua tahun.
"Jika Omnibus Law disahkan, maka perusahaan akan cenderung mempekerjakan buruhnya dengan sistem kontrak kerja. Tidak perlu mengangkat menjadi pekerja tetap," keluh Kahar.
Selanjutnya, karena menggunakan pekerja kontrak, maka tidak ada lagi pesangon. Karena pesangon hanya diberikan kepada pekerja yang berstatus sebagai karyawan tetap. Selain tidak ada lagi kepastian kerja, secara tidak langsung pesangon juga akan hilang.
Berikut bunyi dari pasal 59 yang akan dihapus dalam Omnibus Law.
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu :
a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan
paling lama 3 (tiga) tahun;
c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan
yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
(3) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui.
(4) Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk
paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling
lama 1 (satu) tahun.
(5) Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.
(6) Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun.
(7) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
(8) Hal-hal lain yang belum diatur dalam Pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
DPR resmi menerima naskah omnibus law cipta kerja dari pemerintah di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (12/2).
DPR secara resmi telah menerima surat presiden (surpres) beserta draf rancangan undang-undang (RUU) Omnibus Law, Rabu (12/2). Ketua DPR Puan Maharani menerima langsung draf RUU Omnibus Law dari Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Airlangga Hartarto.
"Dalam kesempatan ini pak menko dan para menteri menyampaikan bahwa Omnibus Law Cipta Kerja akan terdiri dari 79 RUU, 15 bab, dengan 174 pasal yang akan dibahas di DPR," kata Puan di Kompleks Parlemen, Senayan, Rabu (12/2).
Puan mengatakan, Omnibus Law yang ia terima hari ini tidak lagi disebut Cipta Lapangan Kerja. Melainkan berubah menjadi Cipta Kerja.
"Jadi sudah bukan cipta lapangan kerja, cipker singkatannya, bukan cilaka, sudah jadi cipker," ujarnya.
Puan menuturkan nantinya Omnibus Law Cipker akan melibatkan tujuh komisi dan nantinya akan dijalankan melalui mekanisme yang ada di DPR. Mekanisme tersebut antara lain bisa melalui baleg maupun pansus.
"Karena melibatkan tujuh komisi terkait untuk membahas 11 klaster yang terdiri dr 15 bab dan 174 pasal," ucapnya.
Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto berjanji, pemerintah bakal menyosialisasikan Omnibus Law ke publik. Airlangga juga memastikan bahwa pemerintah bakal melibatkan buruh dalam pembahasan Omnibus Law. Dirinya mengatakan pemerintah melalui menteri tenaga kerja (menaker) sudah mengajak sepuluh konfederasi untuk diajak berdiskusi.
"Jadi sepuluh konfederasi sudah diajak dialog dengan menaker dan tentunya ada di bentuk tim dan demikian seluruhnya sudah diajak dalam sosialisasi," ungkapnya.
Airlangga mengaku tidak bisa memastikan kapan draf Omnibus Law mulai dibagikan ke publik. Ia menyerahkan sepenuhnya mekanisme tersebut ke DPR. Ia menambahkan, nantinya bentuk sosialisasi ke masyarakat juga bisa melalui rapat dengar pendapat umum (RDPU) dalam setiap pembahasan Omnibus Law Ciptaker.
"Public hearing kan dilakukan mekanisme saat pembahasan di DPR, namanya RDPU," ucap Ketua Umum Partai Golkar tersebut.
Wakil Presiden Ma'ruf Amin berharap pembahasan Omnibus Law Ciptaker antara pemerintah dan DPR bisa lebih cepat. Ma'ruf pun berharap pembahasan RUU Ciptaker bisa cepat seperti halnya RUU tentang KPK yang kurang lebih dua pekan.
"Ya kita harapkan bisa lebih cepat," ujar Ma'ruf di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Kamis (13/2).
Ma'ruf menerangkan, substansi dalam RUU Cipta Kerja sebenarnya lebih banyak untuk kepentingan tenaga kerja dan investasi di Indonesia. Karena itu, semakin cepat penyelesaian RUU tersebut, dapat memberikan kemaslahatan bagi masyarakat banyak.
"Ini kan sebenarnya untuk kepentingan kemajuan untuk juga kepentingan tenaga kerja, dan untuk bagaimana kita bisa membangun investasi dengan adanya kemudahan pengusaha di Indonesia, ujungnya untuk kesejahteraan masyarakat dan lapangan kerja yang terbuka," ujar Ma'ruf.
Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) nonaktif itu juga merespon terkait masih adanya penolakan sejumlah pihak terhadap RUU tersebut. Ma'ruf mengajak semua pihak untuk mengikuti proses pembahasan RUU tersebut.
"Ya kan pemerintah sudah sampaikan ke DPR nanti DPR akan membahas dan DPR akan melakukan RDPU, kemudian akan dibahas dan kita lihat prosesnya," ujar Ma'ruf.
Kontroversi RUU Omnibus Law