Rabu 12 Feb 2020 06:24 WIB

Polemik WNI Eks ISIS Tunjukkan Keraguan Publik terhadap BNPT

Polemik pemulangan karena adanya kekhawatiran meningkatnya potensi gangguan keamanan.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Ratna Puspita
Penangkapan tersangka tindak pidana terorisme (ilustrasi). Polemik pemulangan WNI eks ISIS karena adanya kekhawatiran meningkatnya potensi gangguan keamanan dari aksi terorisme.
Foto: republika
Penangkapan tersangka tindak pidana terorisme (ilustrasi). Polemik pemulangan WNI eks ISIS karena adanya kekhawatiran meningkatnya potensi gangguan keamanan dari aksi terorisme.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penolakan kepulangan warga negara Indonesia (WNI) yang menjadi foreigner terrorist fighters (FTF) menunjukkan besarnya keraguan publik terhadap Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Publik dinilai meragukan kemampuan BNPT dalam mengelola pemulangan para eks ISIS tersebut.

"Meluasnya penolakan juga menunjukkan besarnya keraguan publik atas kemampuan BNPT mengelola pemulangan dan potensi gangguan keamanan sebagai dampak turunannya," kata pengamat terorisme dari Institute For Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi melalui pesan singkat, Selasa (11/2).

Baca Juga

Ia melihat ada hal yang lucu hal tersebut. Menurut dia, suara penolakan datang bukan hanya dari kalangan masyarakat, tetapi juga Presiden Joko Widodo melakukan penolakan tersebut, meski mengatasnamakan pribadinya sendiri.

"Padahal, BNPT adalah lembaga di bawahnya. Jadi apa gunanya klaim-klaim sukses pemberantasan terorisme itu kalau Presiden saja masih meragukan BNPT," katanya.

Fahmi mengatakan, polemik pemulangan tersebut timbul karena adanya kekhawatiran akan meningkatnya potensi gangguan keamanan. Hal tersebut dipicu oleh lemahnya komunikasi publik terkait skema pemulangan itu.

Ia juga mengatakan, polemik tersebut menunjukkan adanya kekacauan manajemen. Mestinya, kata dia, sejak awal masalahnya diinventarisasi terlebih dulu. Barulah setelahnya dibentuk suatu rencana dan dibicarakan.

"Profiling dan assessment dilakukan dulu, baru putuskan dipulangkan atau tidak. Kalau pulang, kemudian disusun bagaimana mekanisme dan skema penanganannya," katanya.

Di samping itu, pemerintah memutuskan tak akan memulangkan WNI yang teridentifikasi sebagai mantan teroris lintas batas atau FTF.

Menurut Menko Polhukam Mahfud MD, sebanyak 689 WNI pun teridentifikasi bergabung sebagai teroris lintas batas di berbagai negara di Timur Tengah, seperti Suriah dan Turki. Hal ini disampaikan Menko Polhukam Mahfud MD usai rapat terbatas terkait teroris lintas batas di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Selasa (11/2).

"Keputusan rapat tadi pemerintah harus beri rasa aman dari ancaman teroris dan virus-virus baru terhadap 267 juta rakyat Indonesia," ujar Mahfud.

Mahfud mengkhawatirkan, WNI eks ISIS tersebut justru akan membawa virus baru di Indonesia jika dipulangkan. Karena itu, pemerintah memutuskan tak akan memulangkan para WNI mantan teroris tersebut.

"Bahkan tidak akan memulangkan foreign terorist fighters ke Indonesia. Meski begitu pemerintah juga akan menghimpun data yang lebih valid tentang jumlah dan identitas tentang orang-orang yang dianggap terlibat bergabung dengan ISIS," jelas Mahfud.

Kendati demikian, pemerintah masih akan mempertimbangkan untuk memulangkan anak-anak di bawah usia 10 tahun. "Anak-anak di bawah 10 tahun akan dipertimbangkan tapi case by case. Ya, lihat aja apakah ada ortunya atau tidak, yatim piatu," tambah dia.

Sementara itu, kata Mahfud, berdasarkan data dari CIA, terdapat 228 dari 689 WNI yang memiliki identitas. "Sisanya 401 tidak teridentifikasi. Sementara dari ICRP ada 185 orang. Mungkin 185 orang itu sudah jadi bagian dari 689 dari CIA. Kita juga punya data-data sendiri," ujar Mahfud.

Mahfud menegaskan, keputusan untuk tak memulangkan WNI eks ISIS tersebut dilakukan untuk menjamin rasa aman kepada seluruh masyarakat Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement