REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejakgung) menegaskan kasus gagal bayar PT Asuransi Jiwasraya bukan risiko bisnis. Direktur Penyidikan Direktorat Pidana Khusus (Pidsus) Febrie Adriansyah menegaskan, ada tindak pidana dari manajemen dan para pengelola investasi yang menyebabkan gagal bayar.
Dugaan pidana tersebut semakin menguat karena penyidikan menemukan adanya kerugian negara dari gagal bayar senilai Rp 13,7 triliun tersebut. Bahkan, Febrie menerangkan, aksi melanggar hukum yang menyebabkan gagal bayar dan merugikan keuangan negara itu dilakukan sengaja dan sistematis.
“Penyidikan menganggap, kasus ini bukan karena risiko bisnis. Tapi, ada kesengajaan yang menyebabkan kerugian negara. Maka itu, dilakukan penyidikan,” kata dia, di Kejakgung, Selasa (4/2).
Pernyataan Febrie tersebut menjawab pengaraca Arie Soesilo Wibowo yang mengeklaim kasus Jiwasraya merupakan risiko bisnis. Arie adalah kuasa hukum Heru Hidayat, salah satu dari lima tersangka Jiwasraya sejak Januari 2019. Sementara, Heru merupakan komisaris PT Trada Alam Minera, salah satu pihak swasta yang menerima investasi saham dari PT Asuransi Jiwasraya.
Arie, pekan lalu, saat mendatangi Kejakgung mendampingi kliennya, pernah mengatakan belum mengetahui pasti dengan sangkaan korupsi yang dialamatkan kepada kliennya. Namun, Arie meyakini, kasus yang dialami Jiwasraya adalah risiko bisnis karena menyangkut tentang pembelian saham. “Saya melihat bahwa ini (kasus Jiwasraya) soal saham dan investasi. Kalau soal saham, investasi, tentu ada aturan-aturannya,” ujar Arie.
Ia meyakini, jual beli saham yang berujung kerugian adalah risiko bisnis. Arie menambahkan, belum menemukan adanya aksi pidana yang dilakukan kliennya. “Sampai sekarang, adanya dugaan korupsi itu, kita juga belum tahu aturan mana yang dilanggar,” ujar Arie. Meskipun, Arie mengakui, pendapatnya tersebut baru sebatas analisis yang umum.
Febrie menjawab pendapat tersebut dengan menerangkan salah satu dugaan pidana dalam kasus Jiwasraya. Ia mengatakan, adanya unsur kesengajaan dalam pengalihan dana Jiwasraya ke dalam bentuk saham dan reksa dana ke sejumlah perusahaan yang berkinerja buruk. Aksi korporasi tersebut menjadi salah satu penyebab Jiwasraya mengalami kerugian dan gagal bayar.
Kesengajaan tersebut pun, menurut Febrie, dilakukan berkali-kali, bahkan direncanakan. “Semua sahamnya merugi. Kalau itu risiko bisnis dari investasi, itu tidak mungkin dilakukan berkali-kali,” ujar Febrie. Febrie menambahkan, kesengajaan dan kerugian yang dialami Jiwasraya sistematis karena sudah dilakukan sejak pembukuan 2008.
Ia mengatakan, kejaksaan dalam kasus ini melakukan penyidikan berdasarkan pembukuan dan manajemen Jiwasraya sejak 2008 sampai 2018. Dugaan pidana dalam kasus Jiwasraya lainnya, kata Febrie, dengan bukti kuat yang menjadi dasar penetapan tersangka dan penahanan. Saat ini, Kejaksaan Agung sudah menetapkan lima tersangka.
Tersangka kasus dugaan korupsi di PT Asuransi Jiwasraya (Persero) Komisaris PT Hanson Internasional Benny Tjokrosaputro (kanan) bersiap menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (31/1/2020).
Selain Heru, Komisaris Utama PT Hanson Internasional Benny Tjokorosaputro juga menjadi tersangka. Tiga lainnya adalah para mantan petinggi Jiwasraya, yakni Hendrisman Rahim, Harry Prasetyo, dan Syahmirwan. Kelimanya kini masih dalam penahanan dan penyidikan intensif.
Febrie pun mengatakan, dugaan pidana yang dilakukan para tersangka saat ini semakin kuat dengan sejumlah bukti hasil audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Meskipun BPK dan Kejakgung masih menghitung angka pasti besaran kerugian negara, auditor negara menemukan sejumlah aksi korporasi yang melawan hukum dalam Jiwasraya.
Ketua BPK Agung Firman Sampurna sebelumnya menjanjikan akan merampungkan penghitungan besaran kerugian negara pada akhir Februari ini. Akan tetapi, dalam penyampaian pendahuluan hasil audit investigasi, Januari lalu, BPK menyampaikan sejumlah bukti aksi korporasi yang melawan hukum tersebut, seperti manipulasi akuntansi sejak 2006, yang bermaksud untuk mencatatkan keuntungan atau laba semu.
Pencatatan laba semu dari manipulasi akuntansi tersebut disinyalir menjadi pangkal perbuatan pidana manajemen Jiwasraya. BPK juga menemukan aksi penyimpangan manajemen lain, seperti pengalihan dana penjualan produk asuransi Saving Plan Jiwasraya ke dalam bentuk saham dan reksa dana yang berkualitas buruk.
Dalam pengalihan dana ke dalam saham dan reksa dana tersebut, BPK juga meyakini sarat korupsi. Karena, aksi tersebut disertai dengan memberikan keuntungan pribadi yang dinikmati para petinggi Jiwasraya.
“Dalam pemasaran produk asuransi Saving Plan, diduga terjadi konflik kepentingan karena pihak-pihak terkait Jiwasraya mendapatkan fee atas penjualan produk tersebut,” kata Agung Firman saat menyampaikan pendahuluan investigasi BPK, di Jakarta.
BPK juga mengatakan, selain mengalami gagal bayar senilai Rp 13,7 triliun, pada September 2018, per November 2019 auditor negara juga mencatatkan angka defisit pencadangan keuangan Jiwasraya sebesar Rp 27,2 triliun. Kondisi keuangan tersebut yang membuat BUMN asuransi tersebut terancam bangkrut.
Bahkan, menurut BPK, kerugian keuangan negara yang dialami Jiwasraya terindikasi sistematis gigantik. Walaupun belakangan, pemerintah lewat Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memiliki pendapat berbeda.
Sementara itu, dua sekretaris pribadi tersangka Benny Tjokrosaputro diperiksa jaksa penyidik Kejaksaan Agung pada Selasa sebagai saksi terkait penyidikan kasus dugaan tindak pidana korupsi Jiwasraya. Saksi lainnya yang diperiksa kemarin adalah Direktur Independent PT Armadian Karyata Devi Henita, Sekretaris PT Hanson Internasional Tbk Jumiah dan mantan kuasa hukum PT Asuransi Jiwasraya Tbk Irfan Melayu.
"Saksi yang diperiksa hari ini ada lima orang," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Hari Setiyono, kemarin. n bambang noroyono, ed: fitriyan zamzami