Sabtu 01 Feb 2020 23:15 WIB

Polemik Ekspor Ganja RI Mencuat di Kalangan Legislator

Ekspor ganja produksi RI mencuat usai rapat bersama Menteri Perdagangan.

Ekspor ganja produksi RI mencuat usai rapat bersama Menteri Perdagangan. Ganja kering yang berhasil disita polisi. (ilustrasi)
Foto: Antara/Arif Firmansyah
Ekspor ganja produksi RI mencuat usai rapat bersama Menteri Perdagangan. Ganja kering yang berhasil disita polisi. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA— Anggota Komisi VI DPR RI Mufti Anam menilai usulan anggota Komisi VI DPR Fraksi PKS Rafli untuk menjadikan ganja sebagai komoditas ekspor sebaiknya tidak ditindaklanjuti pemerintah. 

Hal ini karena masih banyak komoditas yang bisa dipacu pengembangannya untuk menggeliatkan ekonomi daerah dan nasional.

Baca Juga

"Usulan itu tidak perlu ditindaklanjuti karena beberapa alasan. Pertama, masih banyak komoditas lain yang bisa dipacu pengembangannya untuk menggeliatkan ekonomi daerah dan nasional,” ujar Mufti Anam saat dihubungi, Sabtu (1/2).

Mufti menyebut, komoditas lain itu seperti berbagai rempah, aromatik dan tanaman obat seperti lengkuas, kunyit, cengkeh, lada, pala, kapulaga, biji vanili, hingga merica.

"Dan harga ekspornya sangat mahal lho, bisa berlipat-lipat dibanding harga di Indonesia. Pemerintah harus peduli melakukan riset dan inovasi terhadap komoditas semacam itu daripada ikut berpolemik menjadikan ganja sebagai komoditas ekspor," katanya.

Dia mengatakan, riset dan inovasi sangat penting agar produktivitas dan kualitas rempah, aromatik, tanaman obat Indonesia terakselerasi.

"Pemerintah harus mengiringi tumbuh kembangnya petani dalam menghidupkan kembali jalur rempah yang membuat Nusantara begitu seksi di mata para penjajah di masa lalu," kata politisi PDI Perjuangan tersebut.

Alasan kedua, sambung Mufti, banyak komoditas ekspor lain yang bisa dioptimalkan untuk menghasilkan devisa bagi negara.

Seperti komoditas nonmigas yang begitu banyak, kemudian industri manufaktur berjejer, ditambah olahan pertanian dan subsektornya sangat beragam. "Jadi ngapain bingung soal ganja harus diekspor?," tanya Mufti.

Dia menjelaskan, tanpa ganja pun, ekspor rempah, aromatik, dan tanaman obat dari Indonesia sangat moncer.

Berdasarkan data BPS, ekspor tanaman obat, aromatik, dan rempah-rempah Indonesia pada 2018 mencapai 601 juta dolar AS (free on board/FOB), tumbuh pesat jika dibandingkan pada 2013 yang baru sebesar 342 juta dolar AS. Dalam setahun, yang diekspor Indonesia mencapai 336 ribu ton.

"Rempah-rempah, tanaman obat, dan aromatik Indonesia punya daya saing tinggi. Kita termasuk eksportir terbesar dunia di segmen itu. Jadi tanpa ganja, komoditas kita sudah bisa menghasilkan devisa yang tak sedikit. Tinggal komoditas-komoditas itu dikembangkan, dihilirisasi, biar makin memberi nilai tambah ekonomi," katanya.

Adapun alasan ketiga, kata dia, secara aturan memang peredaran ganja dilarang, dan sudah ada kajian dari para ahli tentang dampak dan manfaatnya. "Faktanya, sekarang ganja dilarang,” ujarnya.

Dalam rapat bersama Menteri Perdagangan Agus Suparmanto, Kamis (30/1), anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PKS, Rafli, mengusulkan agar pemerintah menjadikan ganja sebagai komoditas ekspor.

Ganja disebutnya mudah tumbuh di Aceh, dan ada peluang ekspor mengingat sejumlah negara di dunia memang melegalkan ganja.

"Ganja entah itu untuk kebutuhan farmasi, untuk apa saja, jangan kaku kita, harus dinamis berpikirnya. Jadi, ganja ini di Aceh tumbuhnya itu mudah," ujar Rafli.

 

 

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement