Sabtu 01 Feb 2020 14:58 WIB

DPR Janji RUU Cipta Lapangan Kerja tak Kurangi Hak Pekerja

Fokus omnibus law dinilai lebih pada memudahkan investasi.

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Gita Amanda
DPR janji RUU Cipta Lapangan Kerja tak kurangi hak pekerja. Ilustrasi Omnibus Law
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
DPR janji RUU Cipta Lapangan Kerja tak kurangi hak pekerja. Ilustrasi Omnibus Law

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi IX (Ketenagakerjaan) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Melki Laka Lena, menyebut Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja tidak mengurangi hak-hak para pekerja seperti yang dikhawatirkan sejumlah serikat kerja. Ia mengklaim fokus omnibus law itu lebih pada memudahkan investasi.

"Sepanjang mengenai hak-hak dari pekerja atau buruh tidak ada yang berkurang dari apa yang sudah diaturkan selama ini," kata Melki dalam diskusi yang digelar di bilangan Menteng, Jakarta Pusat pada Sabtu (1/2).

Baca Juga

Politikus Golkar itu mengklaim, RUU Cipta Lapangan Kerja disusun untuk mendorong agar investasi luar negeri lebih mengalir masuk ke dalam negeri. Terutama, kata dia, investasi itu diharapkan dapat mengalir ke usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Namun, tetap tidak mengeliminasi hak pekerja.

Ia menegaskan, tidak ada pesangon yang akan dicabut seperti yang selama ini beredar di kalangan pekerja. Kemudian lanjut Melki, mengenai upah per jam lebih ditargetkan untuk para pekerja paruh waktu.

"Jadi tidak untuk nanti semua pekerja akan diatur per jam tapi untuk kesempatan bagi pekerja pekerja part timer itu," ujar dia.

Sejauh ini, draft Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang diinisiasi pemerintah sendiri baru akan diterima oleh DPR RI pada Senin (3/1) mendatang. Maka, ia meminta para buruh atau Serikat pekerja tak berspekulasi soal poin-poin ketenagakerjaan yang bakal termuat dalam RUU Cipta Lapangan Kerja.

"Jadi lebih banyak mendorong Bagaimana supaya memudahkan investasi luar negeri dan terutama bagaimana untuk memudahkan investasi UMKM," ujar Melki menambahkan.

Sejumlah serikat buruh dan pekerja masih merasa resah atas Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja. Kekhawatiran itu semakin menjadi-jadi lantaran mereka merasa penyusunan RUU yang disebut 'Cilaka' itu tertutup rapat.

Puluhan Serikat Buruh yang tergabung dalam Fraksi Rakyat Indonesia  menilai keseluruhan proses yang sangat tertutup, tidak demokratis, dan hanya melibatkan pengusaha. Selain itu, mereka juga menilai substansi RUU Cilaka Indonesia menyerupai watak pemerintah kolonial Hindia Belanda.

"Konsep sistem ketenagakerjaan dalam RUU Cilaka mirip kondisi perburuhan pada masa kolonial Hindia Belanda," demikian pernyataan FRI yang disampaikan oleh Nining Elitos dari Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) dalam keterangan yang diterima Republika pada Kamis (30/1).

Selama ini, buruh bekerja di bawah naungan UU nomor 13 tahun 2003. Tahun lalu, DPR RI hampir mengesahkan RUU Ketenagakerjaan. Namun, RUU itu ditolak lewat demo besar-besaran yang digelar oleh para mahasiswa, lantaran poin-poin kontroversialnya.

Para buruh khawatir, poin dalam Omnibus Law hanya menyadur RUU Ketenagakerjaan yang ditolak tersebut. Ada beberapa poin yang menjadi perhatian yakni soal upah per jam yang berpotensi menghapus upah minimum, dan pemberian tunjangan PHK enam bulan yang berpotensi menghapus sistem pesangon.

Para buruh juga khawatir dengan pengunaan tenaga kerja asing di lingkup kerja unskilled workers. Lalu, para buruh khawatir jaminan pensiun dan jaminan kesehatan tidak akan diberikan pada buruh yang hitungan upahnya per jam, karena cara menghitung iurannya akan sulit.

Kemudian, buruh khawatir dengan penghapusan sanksi pidana pada pengusaha yang mengabaikan regulasi, lalu perpanjangan sistem kontrak hingga 5 tahun tanpa dibatasi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement