REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Peneliti Evaluasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), M Faozi Kurniawan, mengatakan bahwa sistem JKN selama lima tahun ini belum adil dalam memberikan pelayanan kesehatan. Hal itu terungkap dalam penelitian yang dilakukan Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) baru-baru ini.
"PKMK menemukan dalam pelaksanaan JKN selama lima tahun belum mencapai tujuan pemerataan dan keadilan dalam memberikan pelayanan kesehatan,” tutur Faozi saat konferensi pers tentang isu penanganan stunting dan JKN di Ruang Common Room Gedung Penelitian dan Pengembangan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gajah Mada (FK-KMK UGM), Senin (27/1).
Ia menjelaskan, penyelenggaraan JKN saat ini belum melaksanakan prinsip keadilan melalui amanat UUD 1945 dan UU Undang-undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Padahal keberadaan UU ini sebagai implementasi dari Pasal 34 ayat (2) UUD 1945, yang bertujuan untuk memenuhi hak kesehatan secara adil dan bermartabat.
Selain itu, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan pun belum mampu menjalankan kebijakan kompensasi. Tentunya bagi daerah yang belum memiliki fasilitas memadai, khususnya di wilayah yang letak geografisnya sulit. Sehingga menyebabkan sedikitnya peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Indonesia (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang menggunakan layanan JKN. “Padahal kebijakan kompensasi sangat jelas,” ungkapnya.
Pasal 23 ayat (3) UU Nomor 40/2004 tentang SJSN, menyatakan bahwa di suatu daerah yang belum tersedia fasilitas kesehatan yang memenuhi syarat guna memenuhi syarat kebutuhan medis sejumlah peserta, BPJS Kesehatan wajib memberikan kompensasi. Kemudian kompensasi dapat berupa pengganti uang tunai, pengiriman tenaga kesehatan, atau penyediaan fasilitas kesehatan tertentu.
Jika kewajiban kompensasi ini tidak dilakukan, dikhawatirkan akan terus terjadi pemburukan inequity antardaerah, yakni tidak terpenuhinya kebutuhan medis peserta JKN di daerah terpencil. Serta tidak tersampaikannya dana JKN pada daerah tersebut.
Ia juga mengungkapkan sejak dilaksanakannya JKN pada tahun 2014, diharapkan tidak lagi terjadi ketimpangan antar daerah, dan kelompok masyarakat dalam mendapatkan pelayanan dan fasilitas kesehatan. Namun, defisit yang berkepanjangan menyebabnya tidak terlaksananya semua ini.
Kebijakan pemerintah pun belum mampu menyeimbangkan akses layanan kesehatan. Seperti, penambahan rumah sakit, dan pengiriman tenaga medis ke daerah yang sulit dijangkau. Hal ini dikarenakan, dana JKN yang lebih dahulu diserap oleh masyarakat di wilayah perkotaan.
Secara keseluruhan, apabila dihitung dengan kenaikan iuran tahun 2020 diestimasikan masih terjadi surplus. Akan tetapi, kenaikan simulasi ini masih belum menggambarkan keadilan, karena dana PBI APBN digunakan untuk menutup Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU), serta kebijakan kompensasi untuk wilayah sulit akses belum dialokasikan. Situasi ini menunjukkan bahwa JKN belum dikelola secara berkeadilan.
Faozi mengungkapkan, upaya yang harus dilakukan adalah segera dilakukannya kebijakan kompensasi, peserta PBPU membayar sesuai ability to pay atau mendekati hitungan aktuaria sesungguhnya, dan perlu adanya penetapan kelas standar perawatan.
Tim Peneliti Evaluasi JKN-PKMK, FK-KMK UGM mengungkapkan, setidaknya ada empat sebab yang menyebabkan defisit berkepanjangan di BPJS Kesehatan. Pertama, adanya adverse selection di kelompok PBPU sejak pertama berdiri sampai sekarang. Golongan masyarakat mampu dengan jumlah peserta sebanyak 30 juta, dengan klaim rasio lebih dari 40 persen.
Kedua, sistem single pool yang tidak tepat. Sehingga, menyebabkan digunakannya dana PBI bagi masyarakat miskin dan tidak mampu oleh PBPU. Dengan demikian, kelompok PBPU didukung oleh PBI APBN dan Pekerja Penerima Upah (PPU).
Ketiga, subsidi tersembunyi untuk PBPU yang tidak terdeteksi. Terjadinya gap antara Cost per Member per Month (CPMPM), dengan Premi per Member per Month (PPMPM) di segmen PBPU (Masyarakat mampu). Seharusnya masyarakat mampu (PBPU) membayar untuk kelas 1 Rp 274.204, kelas 2 Rp 190.639, dan kelas 3 Rp 131.195.
Keempat, kebijakan kompensasi yang belum berjalan. Berdasarkan data Dasboard Sistem Kesehatan (DASK), utilisasi masih rendah di wilayah yang letak geografisnya sulit. Sampai saat ini belum ada mekanisme untuk menyeimbangkan akses layanan kesehatan, Akibatnya, daerah-daerah seperti Yogyakarta, Jawa Timur, dan Jawa Tengah mempunyai pengeluaran yang sangat tinggi. Sedangkan, di wilayah NTT, Papua dan Bengkulu masih sangat rendah.