Selasa 28 Jan 2020 15:50 WIB

Tumpak Janji Dewas tak akan Hambat Kerja KPK

Tumpak menegaskan, Dewas bersifat independen meski UU KPK tak menyebut demikian.

Rep: Nawir Arsyad Akbar, Ali Mansur/ Red: Andri Saubani
Ketua Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Tumpak Hatarongan Panggabean (kiri) didampingi anggota Albertina Ho memaparkan pendapat saat mengikuti Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (27/1/2020).
Foto: Antara/M Risyal Hidayat
Ketua Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Tumpak Hatarongan Panggabean (kiri) didampingi anggota Albertina Ho memaparkan pendapat saat mengikuti Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (27/1/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Untuk kali pertama Dewan Pengawas (Dewas) KPK mengikuti rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR, pada Senin (27/1). Dalam rapat itu, Ketua Dewas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean menegaskan, pihaknya tidak akan melemahkan atau menghambat kinerja KPK.

"Sudah kami tegaskan bahwa kami tidak akan menghambat tugas KPK," ujar Tumpak di ruang rapat Komisi III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (27/1).

Baca Juga

Ia menyadari bahwa aturan yang mengatur penyidik KPK harus meminta izin menggeledah dan menyadap kepada Dewas dianggap menghambat oleh banyak pihak. Namun, Tumpak menegaskan bahwa itu memiliki tujuan yang baik.

"Memang awalnya terkesan mekanisme ini terlalu birokratif, tapi pada akhirnya banyak para pihak yang mengerti," ujar Tumpak.

Selain itu, ia menegaskan, Dewas KPK bersifat independen dan tak terpengaruh pihak manapun. Meski pada Undang-Undang KPK Nomor 19 Tahun 2019 tidak menyebutkan hal tersebut.

"Akan tetapi dalam sumpah dan pakta integritas kami, Dewas juga telah bertekad untuk bersifat independen dan terbebas dari pengaruh manapun. Termasuk juga pengaruh eksekutif," ujar Tumpak.

Terkait izin penggeledahan dan penyitaan, Anggota Dewas KPK, Albertina Ho menjelaskan, surat izin penggeledahan dan penyitaan berlaku selama 30 hari. Itu berlaku sejak Dewas KPK menyetujui surat permohonan yang dibuat oleh penyidik komisi antirasuah itu.

Adapun proses surat izin penggeledahan dan penyitaan harus melalui surat permohonan diajukan penyidik KPK. Nantinya, surat itu diterima oleh staf khusus, kemudiaan dikaji terlebih dahulu.

"Telaahannya itu diteruskan oleh kepala sekertariat Dewas, kemudian Dewas memberikan pendapat menyetujui atau tidak menyetujui permohonan tersebut," ujar Albertina.

Adapun, surat permohonan tersebut harus memuat tentang dasar akan diadakan penggeledahan atau penyitaan. Di mana memuat sprinlidiknya, kemudian memuat urain singkat kasus posisi perkara.

"Lalu memuat juga barang-barang yang akan disita kalau itu penyitaan. Kalau penggeledahan memuat objek dan lokasi yang akan digeledah," ujar Albertina.

Namun untuk penyadapan, masa berlaku yang diberikan lebih lama. Yakni, selama enam bulan.

"Boleh mengajukan kembali tanpa gelar perkara dan akan diperpanjang enam bulan. Jadi untuk penyadapan total seluruhnya bisa selama satu tahun," ujar Albertina.

Sejak UU KPK versi revisi berlaku, Dewas KPK hingga kini belum menerima permintaan izin penyadapan dari pimpinan KPK. Terkait kasus Bupati Sidoarjo beberapa waktu lalu, Ketua KPK Firli Bahuri menerangkan, operasi tangkap tangan (OTT) Bupati Sidoarjo bukan berdasarkan pada hasil dari penyadapan. Menurutnya, setidaknya ada tiga sumber.

"Salah satunya laporan, yang lapor biasanya orang dekat, mungkin istrinya apalagi jika istrinya tidak cuma satu. Bisa saja stafnya atau yang kalah saat dengan proyek. Artinya kasus tersebut ada laporan," terang Firli.

Belum sempurna

Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmond J Mahesa menilai, bahwa saat ini KPK belum sempurna. Hal itu disampaikannya usai rapat dengar pendapat dengan pimpinan dan Dewan Pengawas (Dewas) KPK kemarin,

Kesempurnaan yang dimaksud Desmond, belum tampak dari prosedur izin penggeledahan, penyitaan, dan penyadapan yang harus diajukan ke Dewas KPK terlebih dahulu. Apalagi, KPK era Firli Bahuri belum melakukan penyadapan sama sekali.

"Agak prematur bagi saya untuk memvonis berlebihan, semua teknis mekanisme belum sempurna, kode etik dewas belum ada, mekanisme perizinan yang dimohonkan," ujar Desmond di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (27/1).

Meski begitu, ia menilai rapat dengar pendapat kali ini menjelaskan bahwa kesimpulan KPK telah dilemahkan belum dapat dibuktikan. Sebab, kerja KPK saat ini belumlah dapat diukur.

"Kita uji, toh tahun ini dan tahun depan akan membuktikan apakah ini akan lebih baik atau lebih buruk," ujar Desmond.

Ia berharap KPK dapat membuktikan kerjanya dengan memfokuskan diri pada pencegahan, bukan hanya penindakan saja. Pasalnya, publik saat ini menilai bahwa KPK dilemahkan dengan hadirnya sejumlah hal, seperti Dewas dan izin penggeledahan, penyitaan, dan penyadapan.

"Jadi jangan sampai langkah-langkah mundur, ada yang tersembunyi atau disembunyikan makanya saya siap kejar," ujar Desmond.

"Agar masyarakat juga bisa menilai betul dilemahkan karena undang-undang atau betul dilemahkan oleh Dewas, yang secara perizinan sangat birokrat," lanjutnya.

Sementara itu, anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Demokrat Benny K Harman menyindir KPK yang belum bisa menangkap Harun Masiku. Menurutnya, komisi antirasuah itu seperti dipegang kendalinya oleh partai penguasa.

"Masa seorang Masiku ini tidak bisa kita temukan, sedih saya. Kasus terorisme besar 3x24 jam gampang sekali dapatnya," ujar Benny.

Maka dari itu, ia meminta KPK tak menyembunyikan hal-hal yang berkaitan dengan kasus yang sedang dalam penyidikan. Agar publik tak lagi ragu dengan kerja dari komisi antirasuah era Firli ini.

"Ini adalah momentum KPK punya otonomi atau tidak, di bawah tekanan penguasa atau tidak," ujar Benny.

photo
Komisioner KPK 2019-2023

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement