REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febryan A, Zainur Mahsir Ramadhan, Idealisa Masyrafina
Upaya pemerintah membuat terobosan yang dianggap akan menguntungkan jamaah haji di Tanah Suci diapresiasi. Pengamat haji dan umrah Indonesia, Ade Marfuddin, namun memberikan empat catatan kritis agar terobosan tersebut tidak menjadi masalah baru di kemudian hari.
Salah satu rencana terobosan adalah penggunaan e-money bagi jamaah haji. Terobosan tersebut disangsikan efektif melihat demografi jamaah haji Indonesia.
Pertama, penetapan e-money akan terbilang menyulitkan jamaah. Sebab, komposisi jamaah Indonesia dominan dari masyarakat berpendidikan rendah. Berdasarkan catatan BPKH, 42 persen jamaah haji Indonesia berpendidikan SD dan SMP.
Kedua, e-money juga akan sulit diterapkan bagi jamaah yang berusia lanjut. Mereka tidak familiar dengan uang elektronik. Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) mencatat, jumlah jamaah haji Indonesia yang berusia lanjut mencapai 76 persen.
Ketiga, penerapannya akan jadi sulit lantaran budaya bangsa Indonesia yang sudah terbiasa dengan uang dalam bentuk fisik. Jika hanya memegang kartu, kata Ade, kerap orang merasa tidak sedang memegang uang.
"Ini kan salah satu budaya yang harus diubah. Prosesnya tidak seperti membalikkan telapak tangan," kata Ade kepada Republika.co.id, Kamis (23/1).
Keempat, masyarakat ataupun jamaah sudah terbiasa berbelanja dengan menggunakan uang fisik. Hal ini, kata dia, akan memunculkannya sejumlah masalah jika penerapan e-money tidak dilakukan secara gradual.
Masalah yang diperkirakan akan muncul seperti jamaah yang lupa PIN kartu e-money. Tentu hal ini, kata dia, akan menambah pekerjaan pembimbing dan petugas haji.
Selain itu, lantaran jamaah belum familiar dengan uang elektronik, mungkin saja nanti mereka akan jadi korban penipuan. "Misalnya orang di sana (Arab Saudi) nakal, kita hanya belanja 650 riyal, tahu tahu dibuat 6.500 riyal, ya habis. Apalagi kita tidak bisa bahasa mereka," ujar dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Sebagai solusinya, Ade menyarankan agar penerapan e-money ini dilakukan secara gradual atau bertahap. Jakarta, misalkan, bisa dijadikan provinsi percobaan. Sebab, kata dia, masyarakat Jakarta sudah cenderung berpendidikan tinggi dan cukup familiar dengan e-money.
Uang Elektronik/ E-Money
Solusi lain, sambung dia, adalah dengan penerapan secara moderat. Dalam artian, tidak semua biaya hidup jamaah dimasukkan ke e-money.
Kebutuhan pokok diletakkan dalam e-money. Sedangkan untuk biaya berbelanja diberikan dalam bentuk tunai.
Ketua Umum Himpunan Penyelenggara Umrah dan Haji (Himpuh) Baluki Ahmad mempertanyakan pula rencana penggunaan e-money bagi jamaah haji. Rencana uji coba media non-tunai haji oleh BPKH ia nilai belum tepat.
“Kita belum tahu apakah itu bisa dibelikan ke pedagang kecil atau lainnya. Karena pedagang kecil biasanya tak gunakan akses itu,” ujar ketika dikonfirmasi.
Ia pun mempertanyakan, sejauh apa barang atau keperluan bisa dibeli menggunakan e-money. Terlebih, akses penggunaan uang masih menjadi pilihan yang paling mudah untuk belanja keperluan.
Lebih jauh, rencana BPKH yang juga akan memasukkan living cost ke e-money jika direalisasi juga dinilai Baluki kurang tepat. Ia belum tahu akses apa saja yang bisa dibelanjakan dari penggunaan e-money tersebut.
“Apa nanti orang mau beli air kecil di warung menggunakan e-money? Harus berpikir lebar, dan panjang,” ucapnya.
Ketika ditanya pengelolaannya, ia menegaskan, untuk tidak mendukung ekonomi liberal khususnya untuk keperluan ibadah dan agama. Sebaliknya, ia meminta pengelolaan syariah yang lebih cocok sebagai penggantinya.
Pembagian Living Cost. Jamaah calon haji kloter delapan asal Jakarta Selatan menghitung biaya hidup (living cost) saat pendataan dokumen jamaah haji di asrama haji, Pondok Gede, Jakarta.
“Dan saya tidak yakin itu (e-money) mempermudah. Karena tidak semua barang bisa dibeli dengan e-money. Contohnya seperti tadi, bagaimana kalau belanja di warung kecil?” tanyanya.
Meski disebut memiliki banyak promo jika menggunakan e-money, ia menampiknya. Sebab, penggunaan hal tersebut tidak berbicara konsumtivitas, melainkan bagaimana hal itu bisa memudahkan semua keperluan saat ibadah haji.
Kemarin BPKH mengungkap rencana uji coba pengembangan akun virtual sebagai media non-tunai haji pada tahun ini. Uji coba akan dilakukan di dua embarkasi, yakni Embarkasi Jakarta dan Jawa Barat.
Anggota Badan Pelaksana BPKH Ahmad Iskandar Zulkarnain menjelaskan saat ini fungsi akun virtual masih sebatas informasi dan distribusi nilai manfaat jamaah tunggu. Tahun ini non-tunai ditargetkan dapat juga digunakan sebagai media pembayaran dan sumber dana e-wallet atau uang elektronik (e-money).
"Non-tunai tahun ini tahapannya baru uji coba di dua embarkasi dulu, Jakarta dan Jawa Barat. Masih dibuatkan profil dulu jamaah hajinya," ujar Iskandar dalam paparan kinerja BPKH 2019 di Jakarta, Rabu (22/1).
Media non-tunai nantinya akan berupa e-money, ATM atau kartu debit. Nantinya kartu ini dapat diisi dengan jatah hidup ketika berangkat haji dan dapat diisi ulang nilainya oleh jamaah.
Penggunaannya dapat digunakan untuk membayar dam (denda) dan dapat dikonversi dari rupiah ke riyal, begitupun sebaliknya. Dana ini pun dapat ditarik tunai di Arab Saudi melebihi Rp 2 juta.
Kartu ini juga dirancang agar bisa memberikan berbagai promo yang menarik bagi calon jamaah haji, dapat digunakan untuk alat pembayaran, dan belanja. Ke depan juga akan diintegrasikan dengan aplikasi di ponsel.
"Banknya belum diputuskan, harus yang bisa cocok dengan transaksi di Arab Saudi," kata Iskandar.
Menurut Iskandar, selain untuk memudahkan, transaksi nontunai ini akan memberikan efisiensi dalam pengadaan rupiah ke riyal serta distribusi dana tersebut ke jamaah. Saat ini BPKH sedang melakukan tahap sosialisasi untuk non-tunai.