Kamis 23 Jan 2020 02:59 WIB

LPSK: Penyiksaan adalah Pelanggaran Hukum

Praktik penyiksaan dalam proses interogasi adalah cara yang seharusnya ditinggalkan

Rep: Febryan A/ Red: Esthi Maharani
Terdakwa pengunjukrasa pada aksi pelajar, Dede Lutfi Alfiandi mengikuti sidang pembacaan dakwaan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (12/12/2019).
Foto: Antara/Dhemas Reviyanto
Terdakwa pengunjukrasa pada aksi pelajar, Dede Lutfi Alfiandi mengikuti sidang pembacaan dakwaan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (12/12/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyebut praktik penyiksaan dalam proses interogasi adalah cara usang yang seharusnya sudah ditinggalkan. Cara itu juga telah dilarang oleh aturan hukum Indonesia.

“Penyiksaan adalah pelanggaran hukum dan merupakan bentuk abuse of power, apalagi ini dilakukan kepada seorang anak, mestinya ada pendekatan dengan perspektif perlindungan anak.” kata Wakil Ketua LPSK Manager Nasution dalam siaran persnya yang diterima Republika, Rabu (22/1).

Pernyataan ini disampaikan Nasution untuk merespons dugaan penyiksaan yang dialami Dede Lutfi Alfiandi, pelajar yang menjadi terdakwa kasus kerusuhan dalam demonstrasi pelajar SMK di gedung DPR beberapa bulan yang lalu. Dalam proses persidangan, Lutfi mengaku disetrum dan dipukul oleh penyidik selama proses pemeriksaan.

Nasution menegaskan, aturan proses penyelidikan, penyidikan, penangkapan, hingga penahanan sudah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Yakni pada Pasal 52 dan Pasal 117.

“Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan peradilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim” bunyi pasal 52 KUHAP

“Keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapa pun dan atau dalam bentuk apa pun," bunyi pasal 117 KUHAP dikutip Nasution.

Menurut Nasution, jika benar Lutfi disiksa dalam proses interogasi, maka Berita Acara Penyidikan (BAP) menjadi tidak sah secara hukum dan dapat dijadikan dasar pembatalan dakwaan di pengadilan. Hal itu dapat dilihat dalam Pasal 15 UU No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan Dan Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, Atau Merendahkan Martabat Manusia.

Bunyi pasal itu adalah, “Segala pernyataan yang diperoleh sebagai akibat kekerasan dan penyiksaan tidak boleh diajukan sebagai bukti”.

Nasution pun meminta Kepolisian untuk pro aktif melakukan penyelidikan atas dugaan penyiksaan kepada Lutfi. Sehingga agar isu yang berkembang tidak semakin liar.

Nasution juga menyarankan agar Lutfi melaporkan dugaan itu ke Propam Polri. Propam pun diharapkan segera mencari tahu kebenaran praktik penyiksaan itu.

“Kalau benar terbukti ada oknum penyidik melakukan penyiksaan, saya berharap pelaku dapat dikenakan sanksi tegas, bila perlu dipecat, agar menjadi peringatan bagi penyidik lainnya” pungkas Nasution.

Dede Lutfi Alfiandi (20 tahun) mengaku disiksa hingga disetrum oleh penyidik saat memberikan keterangan di Polres Jakarta Barat. Penyiksaan itu, kata Lutfi, ditujukan agar dirinya mengaku telah melempari aparat dengan batu saat berdemonstrasi di depan kompleks DPR.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement