REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai dugaan penganiayaan terhadap Lutfi merupakan bentuk pelanggaran berat. Dalam persidangannya, Senin (20/1), pemuda yang terlibat demonstrasi penolakan revisi sejumlah undang-undang pada September 2019 itu mengaku disiksa hingga disetrum selama setengah jam oleh penyidik kepolisian. YLBHI menyatakan, tindakan itu melanggar empat ketentuan hukum sekaligus.
Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur mengatakan, penyiksaan itu merupakan metode lama seperti zaman kolonial. Saat itu, tidak ada KUHP dan UUD 1945 yang di dalamnya terdapat larangan penyiksaan. "Anak-anak mendapat penyiksaan, disetrum setengah jam, mata ditutup, itu sangat mengerikan sekali," kata dia kepada Republika, Rabu (22/1).
Lutfi adalah pemuda yang aksinya viral karena membawa bendera merah putih saat berdemonstrasi di depan Kompleks DPR. Saat itu para pelajar ikut turun ke jalan untuk menolak revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Ia ditangkap atas tuduhan penyerangan terhadap aparat.
Dalam persidangannya, Lufti mengaku kepada hakim terkait penyiksaan yang dialaminya selama ditahan di Polres Jakarta Barat. Penyiksaan itu, kata Lutfi, ditujukan agar dirinya mengaku sebagai pelempar batu kepada aparat saat berdemonstrasi. Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Metro Jakarta Barat Komisaris Teuku Arsya membantah pengakuan Lutfi tersebut.
Isnur memerinci, pelanggaran pertama terhadap UUD 1945. Dalam UUD 1945 disebutkan bahwa setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan. Hal itu termaktub dalam pasal 28G. Kedua, pelanggaran terhadap UU Nomor 5 Tahun 1998 tentang pengesahan konvensi menentang penyiksaan dan bentuk kekerasan yang tidak manusiawi lainnya.
Ketiga, pelanggaran terhadap KUHP pasal 422. "Seorang pejabat yang dalam suatu perkara pidana menggunakan sarana paksaan, baik untuk memeras pengakuan maupun untuk mendapatkan keterangan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun,\" demikian bunyi pasal tersebut.
Keempat, pelanggaran terhadap aturan internal kepolisian. "Sebab, ada yang namanya Peraturan Kapolri tentang Implementasi HAM Tahun 2008 dan juga ada Peraturan Kapolri tentang Manajemen Penyidikan Tahun 2019. Yang jelas, di dalamnya melarang melakukan penyiksaan atau kekerasan terhadap tersangka, saksi, ataupun korban," ujar Isnur. Oknum terduga pelaku penyiksaan itu juga melanggar kode etik kepolisian, yang menyebut polisi adalah pelindung dan pengayom HAM.
Dengan serangkai pelanggaran itu, Isnur berpendapat oknum polisi yang diduga menyiksa Lutfi harus ditindak dengan cara dipecat dan disidangkan secara pidana. "Tapi, ini butuh tekanan yang besar karena biasanya jarang (kasusnya) diproses," kata dia.
Sesuai investigasi
Pengakuan Lutfi juga menguatkan hasil investigasi YLBHI pada 2019. Isnur menyebut, lembaganya mencatat 601 orang menjadi korban penyiksaan oleh aparat. \"Hal ini semakin menegaskan temuan-temuan YLBHI dan LBH se-Indonesia bahwa kepolisian masih mempraktikkan penyiksaan dalam metode penyelidikan dan penyidikannya,\" kata Isnur.
Berdasarkan Laporan HAM 2019 dan Proyeksi 2020 YLBHI, kasus penyiksaan bukan terjadi sekali dalam setahun belakangan. Tercatat, ada 56 kasus penyiksaan di seluruh Indonesia sepanjang 2019 dengan jumlah korban mencapai 601 orang. "Semua temuan itu menandakan bahwa reformasi di tubuh kepolisian masih menyisakan banyak masalah, terutamanya di bidang reserse," kata Isnur.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri Brigjen Argo Yuwono membantah adanya penyiksaan tersebut. Ia mengeklaim polisi sudah melakukan pemeriksaan sesuai aturan yang ada. Ia pun memita semua pihak menunggu sidang kasus tersebut selesai.
"Nanti tunggu sidangnya selesai ya. Ya seperti buat baju baru, tapi lengan doang. Itu kan belum jadi toh," kata dia, kemarin. n febryan a haura/hafizhah, ed: ilham tirta