Ahad 19 Jan 2020 14:01 WIB

Umat Islam Bukan Duri Dalam Kehidupan Berbangsa

Menurut Haedar, radikalisme seakan-akan hanya ada pada umat Islam.

Rep: Eko Widiyatno/ Red: Ratna Puspita
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir
Foto: Republika TV/Havid Al Vizki
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir

REPUBLIKA.CO.ID, PURWOKERTO -- Ketua PP Muhammadiyah Haedar Nashir angkat bicara terhadap maraknya tuduhan radikalisme dan ekstremisme dalam Islam. Dia menyebutkan, Muhammadiyah perlu memberikan koreksi pada pemerintah dan kepolisian dalam masalah ini.

"Umat Islam itu bukan duri dalam kehidupan berbangsa. Justru umat Islam itu merupakan pilar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di negara ini," jelas Haedar, saat menghadiri peresmian nama jalan KH Achmad Dahlan di depan kampus Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Ahad (19/1).

Baca Juga

Dia menyebutkan, belakangan ini banyak sekali pejabat yang melontarkan kata-kata radikalisme. Meski tidak secara eksplisit, Haedar menyebutkan, konteks radikalisme itu seakan-akan hanya ada pada umat Islam.

"Seperti sebutan pegawai BUMN banyak yang terpapar, masjid terpapar, bahkan anak PAUD juga disebut terpapar radikalisme, itu arahnya jelas ke radikalisme Islam," katanya.

Haedar mengingatkan, radikalisme itu ada di setiap tempat. Baik dalam bentuk radikalisme primordial (kesukuan), radikalisme paham atau agama, bahkan radikalisme ekonomi.

Salah satunya, ketika terjadi peristiwa kekerasan di Papua yang menyebabkan lebih dari 30 jiwa anak bangsa melayang. Haedar menyebutkan, kejadian itu merupakan bentuk radikalisme separatis.

"Tapi dalam kejadian itu, para pejabat negara tak ada yang menyatakan bahwa itu bentuk radikalisme," katanya.

Demikian juga dalam sektor ekonomi. Dia menyatakan, fakta bahwa hanya ada 1 persen warga negara yang menguasai 55 persen kekayaan indonesia, juga merupakan bentuk radikalisme.

"Itu jelas-jelas merupakan radikalisme ekstremisme liberal kapitalisme," katanya.

Haedar menyatakan, landasan pembangunan ekonomi Indonesia merupakan ekonomi Pancasila yang berdasarkan ekonomi kerakyatan dengan  asas gotong royong atau kebersamaan. "Ketika ada sekelompok kecil orang yang menguasai kekayaan bangsa sedemikian besar, berarti ada ekstremisme," kata dia.

"Dalam kondisi ini, negara mestinya hadir untuk memecahkan masalah ekstremisme ekonomi karena menjadi ancaman masalah keadilan bagi seluruh rakyat indonesia," katanya.

Sebagai organisasi massa Islam, kata Haedar, Muhammadiyah berkomitmen untuk menghadapi radikalisme yang mengarah pada bentuk ekstremisme dan kekerasan dalam bentuk apa pun, oleh siapa pun atas nama apa pun. 

"Itu menjadi komitmen Muhammadiyah sejak awal organisasi Muhammadiyah didirikan, karena radikalisme dalam bentuk kekerasan dan ekstremisme jelas  merugikan hajat hidup manusia, bangsa dan negara," katanya.

Untuk itu, dia meminta pemerintah agar jangan selalu menganggap umat Islam sebagai obyek yang terpapar radikalisme. "Bila kondisi ini terus terjadi, umat Islam suatu saat akan merasa teraleniasi dan ini berbahaya," katanya.

Dia mengingatkan, umat Islam di Indonesia adalah mayoritas dan ikut mendirikan bangsa dan republik ini. "Untuk itu, jangan seperti melempar nyamuk di atas kaca. Nyamuknya tidak kena, tapi kacanya pecah berkeping-keping. Jangan sampai, hal ini juga terjadi di Indonesia," katanya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement