Sabtu 18 Jan 2020 03:35 WIB

Kontras Kecam Pernyataan Jaksa Agung Soal Tragedi Semanggi

Kontras menilai pernyataan Jaksa Agung soal Tragedi Semanggi bentuk penyangkalan.

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Nur Aini
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Yati Andiyani (tengah)
Foto: Antara/Puspa Perwitasari
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Yati Andiyani (tengah)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mengecam pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin yang menyatakan Tragedi Semanggi I dan II bukan termasuk Pelanggaran HAM berat. Kontras menilai, pernyataan itu merupakan penyangkalan hukum.

"Pernyataan ST Burhanuddin menggambarkan bahwa Jaksa Agung sebagai penyidik perkara pelanggaran HAM berat terus berupaya mengingkari, menyangkal dan lari dari tanggungjawabnya untuk menyelidiki perkara pelanggaran HAM berat. Tindakan ini adalah tindakan yang melawan hukum," kata Koordinator Kontras, Yati Andriyani dalam keterangan resmi yang diterima Republika, Jumat (17/1).

Baca Juga

Pernyataan yang dilontarkan Jaksa Agung pada Kamis (16/1) merujuk pada putusan politik, yaitu hasil rekomendasi Panitia Khusus Semanggi I dan II yang dibentuk DPR periode 1999-2004.  Kontras menegaskan, dalam mekanisme penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. DPR RI sebagai lembaga legislatif tidak memiliki kewenangan untuk menyatakan sebuah perkara sebagai pelanggaran HAM berat atau tidak. Mandat DPR RI adalah mengusulkan kepada presiden untuk membentuk Pengadilan HAM Ad hoc, seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM Pasal 43 Ayat (2). 

Lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk menyatakan suatu perkara sebagai pelanggaran HAM berat adalah Komnas HAM sebagai penyelidik dan Kejaksaan Agung sebagai Penyidik sesuai dengan mandat UU No. 26 Tahun 2000 Pasal 18 Ayat (1). 

"Pernyataan ST Burhanuddin yang melandasi argumentasi bahwa peristiwa Semanggi I dan Semanggi II berdasarkan Keputusan Paripurna DPR RI jelas hanya alasan politis dari Jaksa Agung untuk menghindari tanggungjawabnya," kata Yati. 

Jaksa Agung melindungi Presiden untuk tidak mengeluarkan Keppres Pengadilan HAM ad hoc. Kontras pun menegaskan, keputusan Paripurna DPR adalah sebuah produk politik yang sengaja dikeluarkan untuk mencegah kasus itu diselesaikan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. 

DPR RI dinilai bukan lembaga yang berwenang menyimpulkan sebuah perkara pelanggaran HAM berat atau bukan. Sehingga, terhadap keputusan paripurna DPR RI tidak dapat dijadikan acuan oleh Kejaksaan Agung untuk memutuskan suatu perkara adalah peristiwa pelanggaran HAM berat atau bukan.

Kemudian, Pernyataan Jaksa Agung bahwa kasus Semanggi I dan II bukan termasuk pelanggaran HAM berat dinilai sebagai bentuk penyangkalan dan pengingkaran atas atas hasil laporan penyelidikan Komnas HAM pada 20 Maret 2002. 

Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM (KPP HAM) Trisakti, Semanggi I dan II yang dibentuk oleh Komnas HAM mengeluarkan laporan akhir yang menyatakan bahwa telah terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan pada peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II, berupa pembunuhan dan perbuatan-perbuatan tidak berperikemanusiaan yang berlangsung secara sistematis dan meluas yang ditujukan pada warga sipil. 

Kontras menilai pernyataan yang dikeluarkan ST Burhanuddin adalah pernyataan yang tidak berdasar dan melawan hukum. Hal itu karena pernyataan tersebut tidak berkesesuaian dengan hasil penyelidikan pro justisia Komnas HAM dan tidak didasari dari proses penyidikan yang seharusnya dilakukan Jaksa Agung.

Kontras juga menilai, pernyataan Jaksa Agung telah mendelegitimasi kewenangan dan fungsi Jaksa Agung sebagai lembaga penegak hukum menjadi lembaga impunitas. Pernyataan tersebut tidak saja menjadi alasan bagi Jaksa Agung untuk lari dari tanggungjawab tetapi juga melindungi Presiden dari tanggung jawabnya untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat yang menjadi beban sosial politik bangsa ini sejak lama.

"Kejaksaan Agung harus segera meneruskan hasil laporan penyelidikan Komnas HAM ke tahap penyidikan. Presiden sebagai kepala negara harus segera mengambil sikap tegas untuk memutus impunitas. Di antaranya dengan mengeluarkan Keppres pembentukan pengadilan HAM ad hoc sebagaimana diatur dalam UU Pengadilan HAM," kata Yati menyatakan sikap Kontras. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement