Kamis 16 Jan 2020 22:07 WIB

Polemik Wyata Guna, Kemensos; Kami Ingin Ada Azas Keadilan

Kemensos bantah mengusir mahasiwa tunanetra dari Balai Wyata Guna.

32 Mahasiswa Tunanetra yang diusir dari Balai Wyata Guna Bandung masih bertahan menginap di halte trotoar dan badan jalan di Jalan Padjajaran, Kota Bandung, Kamis (16/1).
Foto: Republika/M Fauzi Ridwan
32 Mahasiswa Tunanetra yang diusir dari Balai Wyata Guna Bandung masih bertahan menginap di halte trotoar dan badan jalan di Jalan Padjajaran, Kota Bandung, Kamis (16/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Kemensos, Edi Suharto menegaskan Balai Wyata Guna Bandung tidak melakukan pengusiran terhadap mahasiswa tunanetra penerima manfaat di tempat tersebut. Edi menjelaskan, 30 mahasiswa penerima manfaat akan dipindahkan ke panti, karena masa pelayanan rehabilitasi di Balai Wyata Guna telah selesai.

"Mereka yang masa tinggalnya berakhir akan diganti dengan penerima manfaat baru. Jadi ada azas keadilan," ujarnya, dalam keterangan tertulis, Kamis (16/1).

Baca Juga

Edi melanjutkan, saat ini balai dalam proses revitalisasi fungsional yang merupakan program nasional untuk mengoptimalkan peran balai-balai rehabilitasi sosial milik pemerintah. Tujuannya, masyarakat disabilitas diharapkan dapat diberdayakan dan berkiprah setelah mendapat pelayanan Rehabilitasi Sosial Lanjut di Balai Rehabilitasi Sosial.

"Kita ada program transformasi, perubahan status panti menjadi balai. Kita ingin balai rehabilitasi sosial ini berkontribusi secara progresif. Jadi pijakan bagi saudara-saudara kita kaum disabilitas agar dapat mengembangkan keberfungsian dan kapabilitas sosial mereka," jelasnya.

Ia menjelaskan, salah satu konsekusensi dari program transformasi itu adalah adanya batas waktu bagi para penerima manfaat. Harapannya, jika masa pelayanan di balai rehabilitasi telah selesai, maka para mahasiswa tersebut bisa kembali ke kelyarga dan secara mandiri berkiprah di masyarakat. Ini yang kita sebut Inklusi," ucapnya.

Kendati demikian, pemberlakuan ketentuan mengembalikan penerima manfaat kepada keluarga atau ke masyarakat, tidak dilakukan seketika. Selama di balai, mereka diberikan pelatihan dan layanan yang holistik, sistematis dan terstandar. Sehingga ketika kembali ke masyarakat mereka bisa mandiri.

"Direktorat Rehabilitasi Sosial mempertanyakan kenapa ke 30 penerima manfaat tidak mau menerima pemindahan ke panti milik pemerintah provinsi," katanya.

Sementara itu Kepala Balai Wyata Guna, Sudarsono menjelaskan polemik yang terjadi di Wyata Guna, sebetulnya sudah diproses secara bijaksana sejak tahun 2019. Pengelola balai bahkan telah memberikan toleransi kepada para penerima manfaat hingga bulan Juli. Dimana mereka seharusnya meninggalkan balai sejak Juni 2019.

"Kami sudah secara persuasif meminta penerima manfaat untuk berinisiatif mematuhi ketentuan. Sebab, banyak penyandang disabilitas Sensorik Netra lainnya yang antre untuk masuk balai dan mendapatkan pelayanan," jelas Sudarsono.

Selain itu, pada tanggal 12 Agustus 2019, Kementrian Sosial dan Pemprov Jawa Barat juga telah melakukan rapat untuk mencari solusi bersama.

Salah satu keputusannya adalah, Dinas Pendidikan Jabar berkomitmen membangun sarana pendidikan berkebutuhan khusus, dengan konsep boarding school yang dilengkapi asrama.

Dinas Sosial Provinsi Jabar juga sudah merencanakan pembangunan panti sosial yang melayani semua penyandang disabilitas termasuk sensorik netra. Pengembangan layanan terpadu nasional ini merupakan bagian dari komitmen pemerintah meningkatkan pelayanan kepada penyandang disabilitas.

Namun Sudarsono menyayangkan, di tengah proses peralihan kepada Panti milik Pemprov Jabar, mencuat isu-isu yang justru kontraproduktif dengan langkah-langkah perbaikan dari pemerintah. "Kita duduk bersama, mencari solusi terbaik. Kita semua anak bangsa, tidak mungkinlah saling menegasi," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement