Jumat 10 Jan 2020 03:55 WIB

4.140 Hektare Hutan Gunung Halimun Salak Butuh Rehabilitasi

140 hektare lahan di kanan-kiri sungai di lokasi banjir bandang harus rehabilitasi.

Macan tutul Jawa langka di habitat Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Jawa Barat.  (foto : CIFOR)
Macan tutul Jawa langka di habitat Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Jawa Barat. (foto : CIFOR)

REPUBLIKA.CO.ID, SERANG -- Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Banten mencatat sekitar 4000-an hektare hutan di Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNHGS) di wilayah Kabupaten Lebak harus direhabilitasi. Selain itu, 140 hektare lahan di kanan kiri sungai di lokasi banjir bandang di Lebak harus direhabilitasi.

"Kalau di kawasan hutan TNHGS itu sekitar 4000-an hektare yang harus direhabilitasi, sedangkan kanan kiri sungai yang tergerus banjir kemarin ada sekitar 140-an hektare yang perlu direhabilitasi," kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehuanan (DLHK) Provinsi Banten, Husni Hasan di Serang, Kamis (9/1).

Baca Juga

Ia mengatakan, hutan rusak akibat penambangan liar, pembalakan hutan, alih fungsi lahan. Rehabilitasi harus dilakukan secara bersama-sama antara pemerintah daerah dan pusat serta semua pihak termasuk masyarakat.

Selain itu, juga perlu adanya pengawasan dari pihak-pihak berwenang terhadap aktivitas penambangan ilegal serta pembalakan hutan. Penambangan pasir juga mengakibatkan terjadinya pendangkalan sungai.

Menurutnya, penyebab utama terjadinya banjir bandang di Lebak pada Rabu (1/1) memang karena curah hujan yang sangat tinggi atau ekstrem sehingga mengakibatkan banjir. Kendati demikian, ada kontribusi penambang penambang liar yang juga ikut menstimulir atau memperparah banjir tersebut karena penambangan liar dan perambahan hutan.

photo
Kondisi Kampung Susukan Desa Bungurmekar, Lebak, Banten, pada Kamis (9/1), usai diterjang banjir bandang 1 Januari lalu. (Republika)

"Gurandil-gurandil itu kan membuat lubang untuk penambangan, kemudian mereka menebang pohon untuk menjaga dinding-dinding lubang agar tidak longsor dengan menggunakan kayu hasil penebangan liar di hutan di kawasan itu," katanya.

Gurandil adalah sebutan untuk penambang liar. Husni Hasan menilai keberadaan para penambang ilegal yang berada di kawasan TNHGS tersebut terkesan dibiarkan, sehingga terus beraktivitas tanpa adanya tindakan dari pihak terkait.

Selain itu, kata dia, ada juga alih fungsi lahan dari sawah-sawah tadah hujan menjadi rumah. Hal yang lebih signifikan lagi yakni adanya galian atau penambangan pasir yang membuat sungai-sungai menjadi dangkal karena sedimentasi akibat dari aktivitas penambangan pasir tersebut.

"Adanya perambahan hutan dan penambangan liar tersebut adanya di kawasan hutan lindung TNGHS otoritas pengawsannya ada di pusat sesuai kewenangannya," katanya.

Sedangkan BLHD Banten, kata dia, melakukan pengawasan di luar kawasan hutan melalui penyuluh kehutanan swadaya mandiri (PKSM) yakni para tokoh atau pemuka masyarakat sekitar yang memberikan penyuluhan kepada masyarakat di sekitar hutan. "Kita punya PKSM sekitar 138 personel. Mereka memberikan penyuluhan dan edukasi kepada masyarakat sekitar hutan," demikian Husni Hasan.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement