REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan dua operasi tangkap tangan (OTT) yakni Bupati Sidoarjo, dan Komisioner KPU. Proses penyadapan dua operasi dilakukan tanpa izin Dewan Pengawas KPK.
Pakar Hukum Pidana Abdul Fickar Hadjar menjelaskan, OTT tersebut tetap sah karena KPK masih menggunakan UU yang lama dalam mekanisme OTT yang terjadi. Penggunaan UU yang lama tersebut lantaran masih dalam proses transisi.
"Tindakan itu tetap sah karena ada ketentuan peralihan dalam UU KPK yang baru yang masih memberlakukan UU lama sebelum ada pengaturan yang jelas. Tindakan OTT tetap sah secara hukum," kata Abdul Fickar saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (9/1).
Berdasarkan UU KPK yang terbaru, UU nomor 19 tahun 2019 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, izin Dewas diperlukan untuk melakukan penyadapan. Penyadapan itu lekat dengan aktivitas operasi tangkap tangan.
Namun, formasi Dewas baru saja dilantik Desember lalu, dan belum memiliki organ tetap. Sehingga OTT tetap dapat dilakukan dengan modal penyadapan yang tanpa seizin Dewas KPK.
Kendarti demikian, Abdul Fickar menilai, Dewas tetap perlu mengeluarkan surat pernyataan menyetujui tindakan KPK.
"Ini harus ditindaklanjuti oleh Dewas dengan semacam surat pernyataan, mengingat UU baru telah diberlakukan dan mengantisipasi perlawanan dari tersangka," kata Fickar.
Anggota Dewas KPK Sjamsuddin Haris juga menyatakan dua OTT beruntun yang dilakukan KPK masih menggunakan prosedur dari Undang-Undang KPK yang lama."Terkait OTT KPK di Sidoarjo maupun komisioner KPU tidak ada permintaan izin penyadapan kepada Dewas. KPK masih menggunakan prosedur UU yang lama," kata Haris.
Ia menyatakan, sangat memungkinkan jika proses penyelidikan dan penyadapan terhadap dua OTT tersebut sudah berlangsung sejak pimpinan KPK jilid IV, saar dipimpin oleh Agus Raharjo. Di sisi lain, ia juga menyebut, Dewas belum memiliki Organ Pelaksana seperti yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 91.
Sehingga Dewas tak mempermasalahkan dua OTT tersebut ."Dewas sendiri belum memiliki organ karena Perpres tentang organ ewas baru turun karena masih transisional dari UU lama ke UU baru, Dewas dapat memahami langkah pimpinan KPK," kata Haris menjelaskan.
Arif Satrio Nugroho