REPUBLIKA.CO.ID, MALANG – Aksi teror di Indonesia dianggap terus menurun. Pendapat ini diungkapkan dengan membandingkan aksi serupa sejak 1996.
Pakar Komunikasi dari Universitas Brawijaya (UB), Rachmat Kriyantono, menjelaskan, aksi teror di Indonesia sebenarnya mulai meningkat pada 1996.
Di tahun tersebut terekam sebanyak 65 teror terjadi di sejumlah daerah. "Dan puncaknya pada 2001 dengan 105 kasus. Hanya, sejak tahun tersebut, terorisme menurun," ujar Rachmat, belum lama ini.
Pada 2018, Rachmat mengungkapkan, aksi teror terjadi sebanyak 19 kali. Kemudian menurun hingga delapan kasus di tahun berikutnya. Rachmat menilai, capaian ini bukti pemerintah berhasil mengurangi aksi teror.
Di sisi lain, Rachmat berpendapat, paham radikalisme justru terus meningkat saat ini. Hal ini diungkapkan berdasarkan konten-konten radikal yang teridentifikasi dan diblokir Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). Jumlahnya meningkat dari 10.449 konten menjadi 11.800 di 2019.
Menurut Rachmat, peningkatan konten radikalisme dipicu faktor komunikasi. Komunikasi di media sosial (medsos) membuat penyebaran paham radikal semakin meningkat. Bahkan, keberadaan konten-konten tersebut sulit dihalau.
Sulitnya menghalau konten radikalisme di medsos tak lepas dari sifat yang dimilikinya. Menurut Rachmat, medsos bersifat tanpa batas dan luas serta partisipatif dengan peserta beragam. "Bersifat privat dalam penggunaan, komunikasi bebas dan cepat serta pesan mudah dibuat," jelas Rachmat.
Selain itu, Rachmat menilai, penyebab merebaknya radikalisme juga diakibatkan hal lain. Antara lain akselerasi pengguna internet yang terus meningkat. Saat ini pengguna internet di Indonesia mencapai 150 juta dari populasi sebesar 268 juta di 2019.
Sementara itu, Rachmat juga menerangkan, dominasi situs-situs hoaks dan radikalisme masih tinggi. Hal ini terbukti melalui data yang dirilis oleh Kemenkominfo di 2019. Pemerintah mengungkapkan, terdapat 800 ribu situs hoaks terdeteksi di dunia maya.
"Sedang di sisi lain, terdapat 44 persen masyarakat belum bisa membedakan hoaks atau bukan," jelasnya.
Berdasarkan situasi tersebut, Rachmat memprediksi, potensi radikalisme pada 2020 masih ada. Peluang untuk mewujud menjadi aksi teror juga masih besar. Namun hal ini bergantung pada pemahaman agama, ekonomi, dan politik serta tingkat literasi masyarakat.