Rabu 08 Jan 2020 22:17 WIB

Wawasan Kultur Perlu Jadi Pertimbangan Penanganan Banjir

Sejarawan JJ Rizal menyebut wawasan kultur haru jadi pertimbangan penanganan banjir.

Petugas UPK Badan Air Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta membersihkan sampah yang tersangkut di aliran Kanal Banjir Barat Ciliwung, Jakarta, Rabu (8/1/2020).
Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso
Petugas UPK Badan Air Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta membersihkan sampah yang tersangkut di aliran Kanal Banjir Barat Ciliwung, Jakarta, Rabu (8/1/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wawasan kultur harus menjadi pertimbangan dalam usaha untuk menangani banjir yang terjadi di Jakarta, kata sejarawan JJ Rizal.

"Harus ada upaya serius dari sekadar perdebatan tentang apa itu normalisasi dan naturalisasi. Dan cara kita mempelajari normalisasi dan naturalisasi menurut saya harus berangkat dari pikiran-pikiran yang sifatnya kultural," ujar pendiri Penerbit Komunitas Bambu itu di Depok, Jawa Barat pada Rabu (8/1).

Itu harus dilakukan, ujarnya karena pandangan kultur dan historis itu sering tidak ada dalam wawasan pengambilan keputusan.

Salah satu yang bisa menjadi pertimbangan adalah kearifan lokal yang dimiliki masyarakat asli Jakarta, Betawi, yang banyak berhubungan dengan air dan sungai.

"Kita harus ingat, bahwa masyarakat Betawi peradabannya lahir di sungai dengan bukti arkeologis paling tua ditemukan di sepanjang aliran Sungai Ciliwung," katanya.

Orang Betawi juga kehidupannya tidak jauh dari sungai dengan mereka mempercayai legenda bahwa sungai dihuni oleh buaya putih sebagai mahluk yang sakral. Hal itu bisa dilihat ketika dalam prosesi pernikahan orang Betawi di mana pengantin lelaki harus membawa roti buaya, katanya.

Buaya adalah hewan mitologi yang dihormati oleh orang Betawi karena dianggap sebagai perwakilan leluhur dan hidup di sungai-sungai di Jakarta.

"Sementara kita sekarang tidak menghormati sungainya. kita jadikan tempat sampah, artinya kita tidak menghormati leluhur. Jadi orang Betawi tidak hanya menganggap sungai sebagai saudara tapi juga sebagai ruang leluhur yang sakral dan harus dijaga," tegas dia.

Itu dibuktikan dengan tradisi Betawi tempo dulu yang disebut ngancak atau memberikan persembahan sesajen, sebuah kearifan lokal agar manusia bisa hidup selaras dengan alam di sekitarnya.

Untuk itu perlu ruang untuk mengajari kearifan lokal lewat pendidikan dengan pelajaran bermuatan lokal, tegas dia. Karena apa yang diajarkan di ruang sekolah, ujar dia, harus menjadi cerminan dan kristalisasi masalah-masalah yang harus dihadapi di masa depan.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement