Selasa 07 Jan 2020 18:33 WIB

Dewan Dakwah Helat Rakornas 2020 di Yogyakarta

Rencananya, Rakornas turut dihadiri Muhadjir Effendy.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Fernan Rahadi
Simposium Nasional Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) di Auditorium Abdulkahar Mudzakkir, Kampus Terpadu Universitas Islam Indonesia (UII), Senin (6/1).
Foto: Republika/ Wahyu Suryana
Simposium Nasional Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) di Auditorium Abdulkahar Mudzakkir, Kampus Terpadu Universitas Islam Indonesia (UII), Senin (6/1).

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) menggelar Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) pada 7-8 Januari 2020 di Yogyakarta. Rakornas memberikan penekanan kepada tiga pilar dakwah mulai masjid, pesantren sampai kampus.

Rakornas DDII 2020 mengusung tema Optimalisasi Tiga Pilar Dakwah Guna Memperkokoh NKRI Menuju Indonesia Maju yang Diridhoi Allah SWT. Pengurus 32 provinsi membahas strategi dakwah segmen masjid, pesantren dan kampus.

Pendiri DDII, Mohammad Natsir, sering menyebut ketiga segmen itu sebagai tiga pilar dakwah. Sebelum Rakornas, DDII terlebih dulu mengadakan simposium nasional untuk menampung masukan di Universitas Islam Indonesia (UII).

Rencananya, Rakornas turut dihadiri Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Muhadjir Effendy. Muhadjir akan memberi informasi strategi pemerintah dalam mengelola ahlak manusia Indonesia.

Ketua Pengarah Rakornas, Mohammad Noer mengatakan, DDII memang ingin mendengar langsung strategi pemerintah mengelola ahlak. Terlebih, segmen yang disebut pula revolusi mental itu jadi bagian salah satu misi Dewan Dakwah.

"Kita akan coba memberikan masukan tentang arti revolusi mental yang sebenarnya, yaitu perbaikan aqidah dan mengamalkan ajaran Islam yang penuh dengan nilai-nilai memuliakan manusia," kata Noer di Asrama Haji Yogyakarta, Selasa (7/1).

Sebanyak 300 orang pengurus nasional dan daerah DDII dari 32 provinsi hadir. Termasuk, untuk menyukseskan penyelenggaraan Rakornas Muslimat Dewan Dakwah Islam Indonesia yang  pertama kalinya akan diadakan secara terpisah.

Ketua Umum DDII, Mohammad Siddik mengatakan, Dewan Dakwah prihatin atas adanya tuduhan-tuduhan keji terhadap penyebaran paham radikalisme. Terlebih, tuduhan-tuduhan palsu itu kerap diarahkan ke masjid, pesantren dan kampus.

"Padahal, tiga pilar itu selama ini menjadikan NKRI semakin kokoh," ujar Siddik.

Ketua DDII DIY, Cholid Mahmud merasa, pembahasan radikalisme yang belakangan berkembang masih lebih dikuasi isu-isu politik. Ia merasa, subtansi masalah dari radikalisme itu sendiri malah jarang terlihat muncul ke permukaan.

Hal itu tampak dari kaca mata Cholid setiap kali melihat perdebatan demi perdebatan yang membahas radikalisme. Termasuk, yang kerap dihadirkan media-media massa, dan menjadi pembahasan di tengah-tengah masyarakat.

Bahkan, hingga kini, ia belum melihat ada satu definisi yang jelas untuk menerangkan makna radikalisme tersebut. Artinya, istilah itu malah belum memiliki akar yang kuat sejak dari pemaknaan walaupun kerap digunakan.

"Radikalisme kalau saya lihat perdebatan-perdebatan sebenarnya definisinya tidak jelas juga, jadi lebih banyak sebagai isu politik daripada subtansi apa yang sebenarnya ingin diselesaikan isu itu," kata Cholid.

Cholid meragukan pula jika radikalisme itu menjadi permasalahan terbesar yang sedang dihadapi bangsa Indonesia. Terlebih, jika kita melihat jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 250 juta orang.

Ia mengaku ragu jika ada pendapat yang merasa masyarakat, atau sebagian besar masyarakat, sibuk menghadapi radikalisme. Belum lagi, ketika melihat rendahnya angka warga yang memang terpapar.

Terlebih, Cholid meyakini di semua agama dan keyakinan pasti ada orang-orang yang radikal baik secara pola pikir maupun perilaku. Di Islam sendiri, sudah pernah ada contoh dalam sejarah kelompok radikal bernama khawarij.

Namun, ia menekankan, jika dipersentasekan ke arus utama, tidak pernah banyak orang-orang yang berpikir radikal seperti itu. Artinya, pergerakan-pergerakan semacam itu tidak banyak disukai dan mendapat penolakan masyarakat.

"Masyarakat perlu diberikan pemahaman sebenar-benarnya kalau dalam Islam tidak ada gerakan-gerakan radikal. Bahkan, Islam sendiri melarang orang-orang secara berlebihan dalam melakukan sesuatu, termasuk ketika beribadah," kata Cholid. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement