Selasa 07 Jan 2020 09:08 WIB

Iuran BPJS Diputuskan Tetap Naik per Januari 2020

Utang klaim pelayanan kesehatan rumah sakit (RS) mitra capai Rp 14 triliun.

Warga menunggu antrean pelayanan di Kantor Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Jakarta Pusat, Jumat (3/1/2020)
Foto: Antara/Nova Wahyudi
Warga menunggu antrean pelayanan di Kantor Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Jakarta Pusat, Jumat (3/1/2020)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah memutuskan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) tetap berlaku. Artinya, iuran semua kelas JKN-KIS akan tetap naik per Januari 2020.

Keputusan itu disepakati dalam rapat koordinasi di kantor Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Jakarta, Senin (6/1). Rapat itu dihadiri Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris.

Baca Juga

"Sudah diambil kesepakatan dan kesepakatannya bulat, yaitu Perpres Nomor 75/2019 dilaksanakan seperti apa adanya," kata Menko PMK Muhadjir Effendy seusai memimpin rapat, Senin (6/1).

Muhadjir mengatakan, penyesuaian iuran ini dilakukan karena iuran peserta selama ini belum mencerminkan nilai keekonomian. Hal itu menimbulkan defisit dalam penyelenggaraan JKN-KIS. Ia menegaskan, penyesuaian iuran peserta BPJS Kesehatan telah melewati proses pembahasan dan perhitungan yang matang, termasuk mempertimbangkan kemungkinan penurunan kelas kepesertaan peserta bukan penerima upah (PBPU).

Ia menambahkan, pemerintah sudah menyiapkan sejumlah skema untuk mengantisipasi dampak pelaksanaan Perpres Nomor 75/2019. Di antaranya, menyangkut pengalihan kepesertaan PBPU kelas III menjadi peserta penerima bantuan iuran (PBI). "Kami sudah perhitungkan semuanya. Mekanisme pengalihan dilakukan secara terintegrasi," kata Muhadjir.

Penyesuaian iuran diberlakukan mulai Januari 2020. Untuk kategori PBPU, iuran kelas III naik dari Rp 25.500 per bulan menjadi Rp 42 ribu per bulan, kelas II dari Rp 51 ribu menjadi Rp 110 ribu, dan kelas I dari Rp 80 ribu menjadi Rp 160 ribu. Penyesuaian iuran juga dilakukan bagi pekerja penerima upah (PPU) pemerintah dan PPU swasta.

Sedangkan, untuk jenis kepesertaan PBI dari APBN dan penduduk yang didaftarkan pemda (PBI APBD), disesuaikan dari Rp 23 ribu menjadi Rp 42 ribu berlaku per-Agustus 2019. Khusus PBI APBD untuk tahun 2019, selisih Rp 19 ribu ditanggung pemerintah pusat.

Dirut BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengatakan, pihak-pihak yang datang dalam rapat koordinasi menyepakati Perpres 75/2019 diberlakukan penuh sebagaimana mestinya. "Sebenarnya sudah sangat clear. Kami sebagai penyelenggara program patuh sepenuhnya pada keputusan regulator," ujarnya.

Disinggung mengenai peserta yang tidak mampu membayar kenaikan iuran, Fachmi menyebutkan, ada mekanisme yang ditempuh. Dinas Sosial kabupaten/kota setempat akan mendata peserta untuk selanjutnya mengusulkan kepada Kementerian Sosial. Saat ini, Kemensos sedang memperbarui data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) dan PBI.

"Kemudian, masyarakat yang mampu tercatat dalam (DTKS dan PBI) akan diganti dengan peserta pekerja bukan penerima upah (PBPU) yang terbukti memang tidak mampu," ujarnya.

Ia menegaskan, kebijakan itu menjadi bukti bahwa pemerintah tidak ingin memberatkan masyarakat, apalagi yang terbukti tidak mampu. Fahmi menambahkan, BPJS Kesehatan juga membuka seluas-luasnya peserta yang ingin turun kelas apabila merasa berat dengan adanya penyesuaian iuran. "Kami ingin masyarakat bisa betul-betul mendapatkan pelayanan kesehatan secara baik," ujarnya.

Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mengatakan, penyesuaian iuran dilakukan demi keberlangsungan program JKN. Program ini, kata dia, merupakan salah satu wujud kehadiran negara untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang tidak mampu.

photo
Petugas BPJS Kesehatan Siap Membantu (BPJS SATU) memberikan informasi kepada calon pasien RS Jantung Harapan Kita, Jakarta, Kamis (19/12).

Utang BPJS

BPJS Kesehatan mengungkapkan, utang klaim pelayanan kesehatan rumah sakit (RS) mitra mencapai Rp 14 triliun per akhir Desember 2019. BPJS Kesehatan hanya akan menggunakan premi JKN-KIS yang terkumpul dan segera membayar utang menyusul Perpres 75/2019 yang sepenuhnya diberlakukan.

"Jatuh tempo bermacam-macam, tetapi pembayarannya tak lagi mendapatkan suntikan dana dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Jadi, kami harus berdiri di atas kaki sendiri (berdikari)," kata Kepala Humas BPJS Kesehatan M Iqbal Anas Ma'ruf.

Karena sudah tidak mendapatkan suntikan dana dari Kemenkeu, BPJS Kesehatan membutuhkan cashflow yang baik. Sementara, program JKN KIS supaya tetap berjalan kini hanya bersumber dari iuran yang dibayar masing-masing pihak. Kendati demikian, BPJS Kesehatan berkomitmen segera menyelesaikan pembayaran utang klaim. "Utang klaim pembayaran ini harus segera dibayar karena kalau terlambat ada denda 1 persen," ujarnya.

Iqbal menambahkan, pemerintah telah membayar klaim penerima bantuan iuran (PBI) sebesar Rp 9,1 triliun. Dengan begitu, kata dia, pemerintah sudah melaksanakan kewajibannya membayar premi untuk peserta tidak mampu. Ia berharap premi yang terkumpul dari kenaikan iuran bisa segera digunakan untuk membayar utang BPJS.

Dirut BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengatakan, pembayaran klaim pelayanan kesehatan RS mitra BPJS Kesehatan yang jatuh tempo bisa menggunakan mekanisme anjak piutang (SCF). "Ketersediaan dana (SCF) bisa memenuhi kebutuhan (pembayaran klaim kesehatan BPJS Kesehatan)," katanya. Pihaknya berharap utang kepada rumah sakit mitra yang jatuh tempo bisa diselesaikan dalam waktu tiga bulan mendatang.

Pemerintah daerah berharap BPJS Kesehatan bisa segera melunasi kewajibannya terhadap RS. Kepala Dinas Kesehatan Pemkot Surabaya Febria Rachmanita mengungkapkan, utang BPJS Kesehatan terhadap dua rumah sakit yang dikelola Pemkot Surabaya mencapai Rp 62,43 miliar pada 2019. Dua rumah sakit yang dimaksud adalah RSU Soewandi dan RSU BDH Surabaya.

Febria mengatakan, pembayaran oleh BPJS sangat diperlukan untuk membayar kompensasi para dokter, perawat, dan pekerja kesehatan di dua rumah sakit tersebut. Sebelumnya, kata dia, utang BPJS mencapai Rp 71 miliar. "Sudah dibayar sebagian, sekarang masih Rp 62 miliar lebih," ujar Febria saat menggelar konferensi pers di kantor Humas Pemkot Surabaya, Senin (6/1).

Febria mengungkapkan, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini telah mengirimkan surat tagihan sebanyak empat kali. Namun demikian, BPJS Kesehatan belum melakukan pelunasan. Menurut dia, BPJS Kesehatan belum bisa membayar karena kendala keuangan yang ada di BPJS pusat.

Meski BPJS Kesehatan belum melunasi utangnya, Febria menjamin fasilitas dan pelayanan kesehatan di dua rumah sakit umum tersebut tidak akan terganggu. "Saya jamin pelayanan kesehatan tidak merugikan masyarakat," ujar Febria. n rr laeny sulistyawati/dadang kurnia, ed: satria kartika yudha

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement