Senin 06 Jan 2020 09:38 WIB

TNI AL: Kapal Cina tak Mau Keluar dari Natuna

Empat KRI tambahan dikerahkan ke Natuna.

Pergerakan kapal Coast Guard China terlihat melalui layar yang tersambung kamera intai dari Pesawat Boeing 737 Intai Strategis AI-7301 Skadron Udara 5 Wing 5 TNI AU Lanud Sultan Hasanudin Makassar saat melakukan patroli udara di Laut Natuna, Sabtu (4/1/2020).
Foto: ANTARA FOTO
Pergerakan kapal Coast Guard China terlihat melalui layar yang tersambung kamera intai dari Pesawat Boeing 737 Intai Strategis AI-7301 Skadron Udara 5 Wing 5 TNI AU Lanud Sultan Hasanudin Makassar saat melakukan patroli udara di Laut Natuna, Sabtu (4/1/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, TANJUNG PINANG -- Pihak TNI AL menyatakan, penambahan armada laut Indonesia di Laut Natuna Utara belum berhasil menghalau keluar kapal-kapal nelayan dan Penjaga Pantai Republik Rakyat Cina (RRC) dari wilayah itu. Penambahan kekuatan akan dilakukan terkait hal itu.

Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Pangkogabwilhan) I TNI Laksamana Madya Yudo Margono menyatakan, hingga Ahad (5/1), kapal nelayan Cina bertahan di Laut Natuna Utara, Kepulauan Riau (Kepri). Menurut Pangkogabwilhan I, kapal-kapal asing itu bersikukuh melakukan penangkapan ikan dalam jarak 130 mil laut dari Ranai, Kepulauan Natuna.

Baca Juga

"Mereka didampingi dua kapal penjaga pantai dan satu kapal pengawas perikanan Cina," kata Yudo Margono di Pangkalan Udara TNI AL Tanjungpinang, Kepri, Ahad.

Yudo menegaskan, TNI sudah melakukan gelar operasi dengan menurunkan dua unsur KRI guna mengusir kapal asing itu keluar dari Laut Natuna. "Kami juga gencar berkomunikasi secara aktif dengan kapal penjaga pantai Cina agar dengan sendirinya segera meninggalkan perairan tersebut," ujarnya.

Operasi ini, kata dia, tidak memiliki batas waktu sampai kapal Cina betul-betul angkat kaki dari wilayah maritim Indonesia. "Fokus kami sekarang ialah menambah kekuatan TNI di sana. Besok (hari ini—Red) akan kami gerakkan empat unsur KRI (kapal perang Republik Indonesia) lagi untuk mengusir kapal-kapal itu," ujar dia.

Sampai saat ini, kata dia, tindakan yang dilakukan TNI masih bersifat persuasif dengan memperingatkan kapal Cina bahwa mereka sudah menerobos sekaligus menangkap ikan secara ilegal di Laut Natuna. "TNI mengedepankan upaya damai dalam menangani persoalan ini," katanya.

Saling adang di Laut Natuna Utara bermula saat puluhan kapal nelayan Cina dengan kawalan penjaga pantai Cina memasuki wilayah laut Indonesia di Laut Natuna Utara pada pertengahan Desember lalu.

Kapal-kapal TNI AL dan Badan Kemanan Laut (Bakamla) berulang kali melakukan pengusiran, tetapi penerobosan terus terjadi. Pada 31 Desember 2019, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI memanggil Duta Besar RRC untuk Indonesia guna melayangkan nota protes.

Sehubungan penerobosan masih juga terjadi, pada Jumat (3/1), Indonesia melalui rapat lintas kementerian/lembaga di Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan HAM (Kemenko Polhukam) memutuskan pengiriman kapal-kapal tempur dan kapal patroli tambahan ke Kepulauan Natuna. Tiga KRI sejak beberapa hari lalu sudah berada di Natuna dan dua KRI tambahan dari Jakarta tiba di Natuna pada Sabtu (4/1).

photo
Video capture KRI Tjiptadi-381 yang beroperasi di bawah kendali Gugus Tempur Laut (Guspurla) Koarmada I menghalau kapal Coast Guard China saat melakukan patroli di Laut Natuna Utara, Kepulauan Riau, Senin (30/12/2019).

Indonesia mengeklaim kedaulatan di Laut Natuna Utara seturut Konvensi Hukum Laut PBB 1982 yang menetapkan bahwa zona ekonomi eksklusif (ZEE) suatu negara adalah 200 mil laut dari daratan yang dikuasai. Sedangkan, Cina berkukuh, sebagian besar Laut Cina Selatan yang diliputi garis imajiner “Nine Dash Line” alias Sembilan Garis Putus-putus adalah wilayah mereka secara historis.

Selain itu, Cina menarik ZEE dari Kepulauan Spratly yang terletak di bagian utara Laut Cina Selatan (LCS). Sebagian besar kepulauan itu sedianya telah dimenangkan Filipina dalam arbitrase tribunal internasional pada 2016. Meski begitu, Beijing menolak mengakui putusan pengadilan itu dan tetap mengeklaim kepulauan yang mereka namai Nansha tersebut.

"Apa yang disebut putusan arbitrase LCS itu ilegal, batal berdasarkan hukum, dan kami telah lama menegaskan Cina tidak menerima atau mengakui hal itu," ujar Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Cina Geng Shuang dalam rilis, Jumat (3/1).

Ia juga menegaskan, penjaga pantai Cina akan terus melakukan tugasnya mengawal kepentingan Cina di perairan yang mereka klaim. Menurut dia, patroli akan terus dilakukan terlepas Indonesia “mau mengakui atau tidak” klaim Cina di wilayah tersebut.

Selama ini, Pemerintah Indonesia berkeras ZEE Kepulauan Natuna tak bersinggungan dengan klaim Cina. Meski begitu, Republika mendapatkan informasi dari Studi Perbatasan Cina di Akademi Ilmu Sosial Cina di Beijing bahwa ada setidaknya 50 ribu kilometer persegi wilayah singgungan antara klaim Cina dengan wilayah ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara.

Menko Polhukam Mahfud MD menyatakan, Pemerintah Indonesia tidak akan bernegosiasi dengan RRC terkait perairan Natuna. "Kami akan mempertahankan kedaulatan kita dan akan kami usir dengan segala kemampuan yang ada," ujar Mahfud di Kota Malang, Jawa Timur, Ahad.

Jika Pemerintah Indonesia bernegosiasi dengan Pemerintah Cina, kata Mahfud, itu artinya mengakui secara tidak langsung bahwa ada sengketa antara kedua negara terkait perairan Natuna. "Cina menyatakan itu hak tradisional mereka karena sejak ribuan tahun nelayan mereka ke wilayah itu. Apa dasarnya dan apa buktinya?" ujar Mahfud.

Menko Polhukam menjelaskan, peningkatan dan penguatan patroli di kawasan perairan Natuna bukan berarti Indonesia berperang dengan Pemerintah Cina. "Kita tidak berperang, tetapi menghalau untuk menjaga daerah kita sendiri," ujar Mahfud. n feri nadira/antara, ed: fitriyan zamzami

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement