Sabtu 04 Jan 2020 15:54 WIB

Sistem Peringatan Dini Dinilai Lalai Antisipasi Banjir

Pemprov DKI membantah telat memberikan peringatan banjir.

Rep: Idealisa Masyafrina/ Red: Muhammad Hafil
Warga korban banjir berada di dalam tenda darurat di bantaran rel kereta Pesing, Jakarta Barat, Jumat (2/1/2020).
Foto: ANTARA FOTO
Warga korban banjir berada di dalam tenda darurat di bantaran rel kereta Pesing, Jakarta Barat, Jumat (2/1/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Pusat Pengendalian Operasi BNPB Bambang Surya Putra menilai sistem peringatan dini banjir dinilai lalai dalam mengantisipasi bencana banjir sebelum melanda wilayah pemukiman Jabodetabek pada malam Tahun Baru 2020. Sebanyak 53 orang tewas dan 1 orang masih hilang akibat musibah banjir tersebut, menurut data yang telah dihimpun oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hingga Sabtu (4/1) pukul 06.00 WIB.

"Sementara jumlah pengungsi tercatat sebanyak 137.064 orang yang masih tersebar di 227 titik pengungsian," ujar Kepala Pusat Pengendalian Operasi BNPB Bambang Surya Putra dalam diskusi Polemik: Banjir Bukan Takdir, di Jakarta, Sabtu (4/1).

Baca Juga

Banjir yang terjadi pada Tahun Baru disebabkan oleh curah hujan tinggi sekitar 350 mm dan daya tampung sungai yang hanya sekitar 60-100 mm. Pada hari pertama musibah banjir melanda Jabodetabek, kata Bambang, proses evakuasi berjalan sulit karena hujan lebat yang terus-menerus. Apalagi musim liburan menyebabkan kurangnya sumber daya untuk tim penyelamat.

Mengenai curah hujan yang tinggi, telah disampaikan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) kepada BNPB yang meneruskannya dalam sistem peringatan dini (early warning system) kepada pemerintah melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPDB).

Kepala Bidang Diseminasi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG, Hary Tirto Djatmiko menjelaskan, sejak 27 Desember, BMKG memberi kategori peringatan dini dan disampaikan melalui seluruh saluran informasi serta kepada pihak- pihak terkait, seperti Pemda. Kemudian ketika terjadi perubahan signfikan, BMKG juga menyampaikan status waspada dan siaga.

"Kalau lebih dari empat kali pesannya, dan hujannya lebih dari 5 jam maka kewaspadaan ditingkatkan jadi kesiagaan," kata Hary.

Sementara itu, Dinas Sumber Daya Air Provinsi DKI Jakarta menampik adanya keterlambatan dalam sistem peringatan dini banjir. Menurut Sekretaris Dinas SDA DKI Jakarta Dudi Gardesi, banjir terjadi di luar dugaan karena hujan lebat yang cukup ekstrem.

"Terkait dengan banjir itu early warning kami tidak termasuk telat, karena hujannya lokal. Sekitar 9-12 jam kami lihat (bendungan) Katulampa," ujar Dudi.

Air di Sungai Ciliwung sudah tinggi sejak hujan beberapa hari sebelumnya dan saluran belum sempat dikosongkan. Kemudian pada saat malam Tahun Baru intensitas hujan sangat besar sehingga ada peringatan Siaga 1 dan 2 di Manggarai dan Karet untuk mengungsikan penduduk di sekitar sungai.

Namun, sistem peringatan dini ini nyatanya tidak dapat memprediksi adanya banjir besar. Menurut Dudi ini karena intensitas hujan ekstrem yang belum pernah terjadi sebelumnya. Belum lagi intensitas hujan lebat juga melanda di daerah hulu seperti Depok dan kota-kota terdekat lainnya.

BMKG sendiri memprediksi bahwa puncak musim hujan akan terjadi pada Februari mendatang. Untuk itu, Bambang dari BNPB mengajak semua pihak untuk memperbaiki sistem peringatan dini untuk mengantisipasi bencana banjir lebih baik lagi.

"Early warning itu seharusnya diterima langsung sampai orang per orang, semua orang berhak mendapatkan seperti itu, tapi ini sepertinya di luar yang diharapkan," kata Bambang.

Dalam antisipasi banjir di masa mendatang, diperlukan kerjasama pemerintah wilayah Jabodetabek untuk membentuk perwilayahan lingkungan atau ekoregion.

Menurut Pakar Manajemen Lingkungan Universitas Diponegoro Prof. Sudharto P. Hadi normalisasi sungai perlu dilakukan untuk mengantisipasi banjir dalam jangka pendek.

"Sementara untuk jangka panjang perlu naturalisasi. Ini perlu re-mapping wilayah Jabodetabek, satuan wilayah bukan hanya wilayah ekonomi tapi juga lingkungan," kata Prof. Sudharto kepada Republika.co.id, Jumat (3/1).

Menurutnya, wilayah Jabodetabek perlu dipetakan ulang sebagai wilayah ekoregion atau yang memiliki kondisi lingkungan saling berkesinambungan. Hal ini agar hulu dan hilir saling menopang daya dukung lingkungan dan dapat mengantisipasi bencana serupa.

"Setiap tahun banjir terjadi. Dengan banjir besar seperti ini lalu tahun baru harus menjadi momentum kita bergerak secara responsif dan proaktif," kata Prof. Sudharto. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement