Sabtu 04 Jan 2020 11:19 WIB

Catatan 27 Tahun Republika: Ikhtiar Merawat Kejernihan

Melalui etika jurnalistik, jurnalisme menjadi bertanggung jawab dan berkarakter.

27 Tahun Republika
Foto: Republika
27 Tahun Republika

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh Nur Hasan Murtiaji, Wakil Pemimpin Redaksi

Baca Juga

Etika jurnalistik adalah napas jurnalisme. Tanpa etika, jurnalisme akan mati. Ia tak lebih dari obrolan warung kopi. Ia bisa terjebak ke dalam fitnah ataupun fata morgana. Melalui etika jurnalistik, jurnalisme menjadi bertanggung jawab dan berkarakter.

Prinsip, Kode Etik, dan Standar Perilaku Republika (Januari 2013).

Tepat hari ini, 27 tahun lalu, Harian Republika hadir menyapa pembaca. "Menguak Cakrawala Baru, Menuju Masa Depan" merupakan judul tajuk perdana edisi 4 Januari 1993. Di antara ulasannya disebutkan, informasi dan pengetahuan merupakan dua sisi dari sekeping mata uang.

Mengutip Alfin Toffler dalam bukunya, Power Shift, dalam tajuk disebutkan bahwa pengetahuan tak lain adalah informasi yang telah diolah, yang bisa berwujud data, gambar, ataupun sikap hidup, nilai, dan produk simbolis masyarakat. Kesemuanya ada yang benar, yang masih perkiraan, atau bahkan palsu sekalipun.

Masih dalam ulasan tajuk itu, globalisasi informasi merupakan pertanda betapa menguatnya peran pengetahuan. Mengutip pernyataan Winston Churcill, "Empires of the future are empires of the mind." Masa depan adalah masa ilmu pengetahuan. Dalam konteks ini, sebagai bangsa yang besar, semestinya kita terus mengupayakan diri menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Dan, Republika akan konsisten ambil bagian dalam upaya tersebut.

Ulasan tajuk 27 tahun lalu itu menegaskan peran Republika sejak kelahirannya dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Republika lahir dengan semangat wawasan keumatan dan kebangsaan yang menjadi ciri khasnya. Berbekal sumber daya manusia yang dimiliki serta dukungan berbagai pihak, Republika meneguhkan prinsip Islam rahmatan lil 'alamin. Islam yang penuh rahmat untuk semesta alam.

Oleh karena itu, wartawan Republika memiliki peran profetik, yaitu menyampaikan kebenaran dan kabar gembira. Misi suci jurnalisme adalah mewujudkan masyarakat maju, sejahtera, dan religius atas dasar prinsip demokrasi, keadilan sosial, kemanusiaan, kesetaraan, dan toleransi. Republika meyakini bahwa semua itu bisa dicapai dengan mengembangkan sikap moderat, kebangsaan, kerakyatan, dan keimanan.

Tentu, bukan tanpa tantangan mewujudkan itu. Pada era kiwari, teknologi digital memungkinkan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa tadi menjadi terkaburkan. Yang benar menjadi samar, yang samar menjadi panutan, yang dijadikan panutan ternyata biang keonaran.

Memilah dan memilih informasi pun tak lagi mudah. Apalagi, hanya mengandalkan mengunduh informasi dari beragam media sosial jelas tidaklah bijak. Lantaran tak sedikit entropi informasi terjadi di sana.

Literasi sosial

Dalam konteks ini, media arus utama memiliki relevansinya. Sumber daya yang ada memungkinkan media arus utama menegakkan prinsip-prinsip dan etika jurnalistik dalam pemberitaannya, yang bisa jadi itu tidak dilakukan pada informasi yang beredar di medsos.

Disiplin pada verifikasi maupun keberimbangan sumber informasi adalah di antara pekerjaan utama media arus utama (mainstream). Media arus utama berperan sebagai clearing house atau penjernih atas informasi yang beredar.

Kendati, tak sepenuhnya kesalahan mesti ditimpakan pada medsos. Sebab, mengutip Eric Schmidt dan Jared Cohen dalam buku The New Digital Age (2014), medsos sejatinya dibuat untuk menjaga keberimbangan informasi. Kekuasaan negara yang bisa tanpa batas, bakal menyusut karena warganet memiliki medsos yang efektif sebagai corong aspirasi mereka.

Walaupun kini, status quo bisa membalikkan keadaan medsos bagian dari opini publik yang sedang mereka giring. Platform over the top (OTT), semisal Facebook, Youtube, Google, dan Twitter telah menjadi mesin propaganda dengan tingkat kebisingan begitu tinggi karena saling serang opini.

Diperparah algoritma platform medsos yang bisa mengarahkan kita pada personalisasi isu. Kita dijejali serbuan informasi hanya pada isu-isu yang kita sukai. Personalisasi ini membawa kita pada pemikiran kacamata kuda.

Kebenaran tak menjadi bagian penting karena kita hanya berpaku pada informasi yang kita sukai dan membuat nyaman. Pemikiran orang dibentuk untuk berpandangan sempit, hanya pendapatnya yang benar, yang lain salah. Mereka tak peduli dan berupaya menggali mana informasi yang lebih valid.

Literasi dan edukasi kepada publik agar peduli pada informasi yang lebih akurat menjadi penting karenanya. Media arus utama merupakan garda terdepan dalam kampanye ini.

Generasi phi

Mengapa kampanye? Sebab, kebanyakan pengguna medsos saat ini adalah generasi milenial dan phi. Generasi milenial didefinisikan mereka yang lahir pada kurun 1982-2004. Adapun generasi phi didefinisikan sebagai generasi milenial yang saat ini berada pada kisaran usia 20-an.

Chris Anderson, penulis buku The Long Tail (2006) menjelaskan, perkembangan teknologi internet berimplikasi pada semakin tersegmentasinya kehidupan anak muda. Bisa dalam ranah hobi, passion, gaya hidup/ ataupun komunitas.

Akibatnya, sebagaimana dikutip dari buku Generasi Phi karya Dr Muhammad Faisal, pendiri Youth Laboratory Indonesia, penetrasi media yang kencang bukan membuat mereka makin individualis, tapi menjadi komunal. Berbagai kopdar ataupun reuni lintas komunitas ramai digelar.

Di sisi lain, karakterisitik generasi phi adalah kolektivisme atau budaya berbagi dalam kelompok. Memang, generasi muda yang lahir di era digital sedang mengalami banyak disonansi kogniitif atau kebingungan mental.

Penyebabnya, derasnya informasi yang mesti mereka cerna dan gunakan untuk memersepsi realitas sebagaimana adanya. Padahal, tahap perkembangan kognitif-psikologis mereka masih belum matang. Kebingungan ini membuat mereka stres, bahkan frustrasi.

Kejernihan konten yang diproduksi media arus utama setidaknya bisa mengurangi kebingungan mereka. Yang artinya pula, konten media arus utama harus masuk dalam cara berpikir generasi phi.

Republika sebagai media berbasis komunitas Muslim berupaya menghadirkan konten yang menjadi bagian dari proses penyelesaian masalah. Lebih jauh dari itu, Republika juga ingin terus meniupkan optimisme.

Namun, Republika tak ingin hanya menjadi penyampai informasi faktual dan terverifikasi. Lebih dari itu, Republika mendekat ke komunitas dengan menggelar beragam aktivasi yang umat butuhkan.

Fun Science and Math, Pelatihan Akuntansi Masjid secara Online, dan Pelatihan 30 Menit Baca Alquran hanyalah di antara aktivasi keumatan. Termasuk digelarnya Tokoh Perubahan, Anugerah Syariah Republika, dan Festival Republik dengan Dzikir Nasional sebagai puncak acara.

Digitalisasi platform hanyalah sarana agar beragam konten Republika itu hadir ke pembaca di manapun, kapan pun, dan siapa pun, dengan cara paling mudan dan nyaman. Sebagai pabrik konten, informasi unggulan dan terpilih Republika kini bisa diakses melalui koran cetak, Republika.co.id, Ihram.co.id, e-paper, e-Rep, ataupun aplikasi Gerai Republika dan Ihram, serta menyusul adalah koran digital multimedia platform.

Keseluruhan platform tadi hanyalah sarana distribusi konten yang Republika hadirkan untuk pembaca. Itu semua dilandaskan pada ikhtiar kami agar lebih dewasa dan bijaksana dalam menyajikan informasi bagi masyarakat. Dan, lebih penting lagi, kami menyampaikan terima kasih tak terhingga kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan dan kepercayaannya kepada Republika. n

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement