REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar, Bali selama 2019 menangani 41 kasus kekerasan perempuan dan anak. Kekerasan yang dialami mulai dari jenis tindak kekerasan dalam rumah tangga, pemerkosaan, dan kekerasan seksual pada anak.
"Kalau jumlah kasus tahun 2018 fluktuatif yaitu ada 58 kasus kekerasan perempuan dan anak, dan sudah dibawa ke pengadilan. Jadi yang sudah litigasi artinya sudah dilaporkan ke polisi pada tahun 2019 sampai hari ini ada 41 kasus," kata Ketua Tim Pusat Pelayanan Terpadu Penyintas Perempuan dan Anak, RSUP Sanglah, dr Ida Bagus Putu Alit, SpFM(K) DFM Denpasar, Senin (30/12).
Ia mengatakan RSUP Sanglah menangani kasus kekerasan sesuai yang tercatat pada Pusat Pelayanan Terpadu Penyintas Perempuan dan Anak. "Jadi yang dimaksud dengan penyintas ini adalah korban yang masih hidup jadi untuk korban yang sudah meninggal bukan penyintas," ucapnya.
Jumlah kasus kekerasan selama tahun 2019 berdasarkan jenisnya secara rinci. Mulai dari kasus KDRT berjumlah 11, lalu untuk kasus Pemerkosaan ada lima, Kekerasan Seksual Anak (CSA) ada 21 dan Kekerasan Pada Anak (CA) ada 4.
Sedangkan untuk jumlah korban kasus kekerasan seksual dari warga negara asing, berjumlah lima orang, dua diantaranya anak-anak dan tiga lainnya adalah orang dewasa.
Ia mengatakan warga asing tersebut merupakan turis yang berasal dari Rusia, Korea dan beberapa negara lainnya, sedang berkunjung ke Bali. Namun, biasanya pelakunya adalah orang yang tidak dikenal dan lokasi yang sulit diketahui.
Ia menjelaskan terhadap beberapa kasus kekerasan ada yang sulit terungkap karena hubungan pelaku dengan korban itu spesifik dan khusus. Misalnya, orang tua dengan anaknya, suami dengan istri dan lainnya.
Kedua, kedua tempat kejadiannya bersifat sangat privasi dan ketiga adalah keengganan dari korban untuk melaporkan diri sehingga terjadi lingkar kekerasan (cycle of violence).
"Apa yang kita dapatkan di rumah sakit kasusnya sesuai dengan fenomena gunung es jadi yang kita dapatkan itu jauh lebih kecil dibandingkan dengan kejadian yang sebenarnya terjadi di masyarakat dengan jumlah yang lebih banyak lagi," katanya.
Menurutnya, munculnya kasus kekerasan disebabkan multifaktor. Ia mengatakan penyebabnya bukan hanya karena faktor ekonomi dan sosial, melainkan juga karena kompleksitas masalah hidup.
"Sering juga ditemukan karena munculnya ketidak mengertian misalnya antara orang tua kekerasan dan pendidikan jadi kadang-kadang kekerasan itu dianggap mendidik terjadi maka munculah kekerasan pada anak," jelasnya.
Ia mengatakan kemungkinan juga dipengaruhi dari faktor biologis. Misalnya, korban yang memiliki kelainan mental atau menderita cacat fisik dinilai lebih rentan menjadi korban kekerasan.
Dr. Alit menambahkan untuk pelayanan yang diberikan itu bersifat komprehensif bahwa penanganan dimulai dari pencegahan dengan bekerja bersama Lembaga Pemerintah, LSM, penegak hukum (kepolisian dan kejaksaan). Pelayanan ini juga bertujuan untuk memenuhi kebutuhan korban mulai dari kebutuhan medis, kebutuhan psiko-sosial dengan penangana kejiwaan korban, kebutuhan Mediko Legal berupa pembuktian secara hukum kasus KDRT.
"Kalau di dalam RSUP Sanglah itu memeriksa korban ini masih hidup atau sudah meninggal, lalu membuat alat bukti keterangan ahli berupa hasil visum et repertum, dan untuk di luar RS, itu biasanya memberikan saksi ahli di pengadilan," katanya.
Pihaknya menuturkan apabila korban KDRT mengalami luka berat sampai meninggal dunia dan ada korban kasus kekerasan pada anak maka pihak RS wajib melaporkan kasus tersebut ke polisi untuk selanjutnya diselidiki.