REPUBLIKA.CO.ID, GARUT -- Dosen Ilmu Sosial Universitas Garut (Uniga) Agus Barkah menilai, praktik punguntan liar (pungli) yang terjadi di kawasan wisata Cipanas, Kabupaten Garut, dapat membuat citra pariwisata di tempat itu menjadi negatif. Menurut dia, dengan kejadian itu wisatawan akan semakin enggan datang ke Garut.
Ia menjelaskan, di zaman serba terbuka seperti sekarang, informasi akan dengan cepat menyebar ke masyarakat, termasuk hal yang negatif. Ironisnya, di saat Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Garut terus menggenjot sektor pariwisata, justru terjadi praktik pungli oleh sejumlah oknum.
"Kalau ini tidak cepat ditindak, hunian hotel yang sekarang menurut data terus menurun, akan terus terpuruk," ketika dihubungi Republika, Kamis (26/12).
Menurut dia, mental masyarakat Garut belum siap dan tidak merasa memiliki wisata yang saat ini dibanggakan pemerintah. Ia mengungkapkan, praktik pungli di kawasan Cipanas memang telah lama terjadi. Hal itu seolah menjadi sebuah tradisi yang kurang baik.
Wisatawan yang datang ke Garut, kata dia, selalu dimanfaatkan secara pragmatis. Padahal seharusnya, wisatawan disambut sebagai tamu. Agus mencontohkan, di Kabupaten Pangandaran masyarakatnya telah siap secara mental menyambut wisatawan. Tamu yang datang tidak dipersulit.
"Misalnya masuk ke Pangandaran hanya sekali bayar parkir, dan tidak ditarik lagi. Itu bukti mereka siap. Kejadian terbalik justru terjadi di Garut," kata dia.
Ia menyarankan, Pemkab Garut harus berusaha lebih keras untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat agar sadar wisata. Pasalnya, jika praktik pungli dibiarkan, potensi wisata di Garut yang seharusnya dapat menjadi sumber ekonomi justru akan tenggelam.
Agus mengatakan, Pemkab Garut harus mencari latar belakang masih banyaknya oknum yang melakukan praktik pungli. Ia menduga, praktik itu dilakukan lantaran banyak warga Garut yang belum memiliki pekerjaan atau penghasilan yang cukup. Bahkan, bisa jadi warga tak merasa mendapat manfaat dari keberadaan destinasi wisata.
Karena itu, menurut dia, pemerintah jangan hanya menyalahkan para pelaku, tapi juga mencari akar masalahnya. "Misalnya, mereka bisa diberdayakan di tempat wisata, baik jadi pengelola atau diberikan pelatihan untuk membuat produk. Jadi mereka juga dapat manfaat dari kedatangan wisatawan," kata dia.