Kamis 26 Dec 2019 19:41 WIB

Indef: Kasus Jiwasraya Kian Kusut Kalau Ditarik ke Politik

Bhima menilai masalah Jiwasraya seharusnya difokuskan ke persoalan hukum.

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Teguh Firmansyah
Petugas melintas di depan logo PT Asuransi Jiwasraya.
Foto: Republika/Wihdan
Petugas melintas di depan logo PT Asuransi Jiwasraya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira meminta agar kasus Jiwasraya tidak dikaitkan dengan politik. Bhima mengatakan, kasus ini justru akan semakin rumit jika dihubung-hubungkan ke ranah politik.

"Saya kira kalau ditarik ke politik malah semakin kusut," kata Bhima dalm keterangan resmi di Jakarta pada Kamis (26/12).

Baca Juga

Pernyataan tersebut dilontarkan guna menanggapi pernyataan Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat, Andi Arief yang belakangan menyeret kasus Jiwasraya ke ranah politik.

Menurut Bhima, masalah Jiwasraya seharusnya difokuskan secara hukum mengingat tingkat kerugian negara dalam hal ini cukup besar. "Kemudian polis untuk nasabah Jiwasraya segera dibayar," katanya.

Bhima melanjutkan, masalah Jiwasraya tidak akan kunjung selesai dan kian berlarut-larut karena untuk membuktian tindak pidana korupsi membutuhkan waktu.

Dia mengatakan, harus ada bukti yang bersifat otentik untuk membuktikan ada tidaknya korupsi di tubuh BUMN tersebut.

"Kemudian dari sisi kebijakan, berbeda dengan bank. Kalau di bank ada LPS (Lembaga Penjamin Simpanan), sedangkan untuk asuransi tidak ada lembaga penjamin seperti LPS," tuturnya.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengatakan, persoalan keuangan yang dialami PT Asuransi Jiwasraya sudah terjadi selama 10 tahun lebih. Perkara yang melilit perushaan Asuransi Jiwasraya disebut-sebut telah menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 13,7 triliun.

Berdasarkan catatan perusahaan, Jiwasraya tidak dapat membayar klaim polis yang jatuh tempo pada periode Oktober-November 2019 sebesar Rp 12,4 triliun.

Kementerian BUMN telah mendorong kasus PT. Asuransi Jiwasraya ke Kejaksaan Agung. Mereka melihat fakta bahwa ada sejumlah aset perusahaan yang diinvestasikan secara tidak hati-hati (prudent).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement