Rabu 25 Dec 2019 17:08 WIB

Barang E-Commerce Impor akan Kena Bea, Ini Hitungannya

Sebelumnya, pembelian barang impor melalui e-commerce di bawah 75 dolar AS bebas bea.

Alibaba Grup (ilustrasi)
Foto: REUTERS
Alibaba Grup (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Adinda Pryanka

Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mulai awal tahun depan akan menerapkan bea masuk terhadap impor barang atau produk kiriman melalui niaga daring (e-commerce). Kebijakan ini diberlakukan untuk nilai barang kiriman yang berada di atas batas minimal pembebasan (de minimis) bea masuk, yaitu tiga dolar AS per pengiriman atau consignment note (CN).

Baca Juga

Sebelumnya, nilai pembebasan atau de minimis value atas barang kiriman sebesar 75 dolar AS per CN berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112 Tahun 2018. Artinya, masyarakat yang berbelanja barang impor secara online di bawah nominal itu selama ini mendapatkan fasilitas bebas bea masuk.

Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu Heru Pambudi dalam konferensi pers di Gedung Kemenkeu, Jakarta, Senin (23/12), menjelaskan, kebijakan penyesuaian de minimis value sebesar 3 dolar AS dilakukan dengan mempertimbangkan sebagian besar nilai impor yang di-declare dalam pemberitahuan impor barang kiriman (consignment note/CN) di bawah 75 dolar AS. Dalam catatan Kemenkeu, rata-rata nilainya adalah 3,8 dolar AS per CN.

Sebelumnya, pemerintah menetapkan tiga tarif atas barang kiriman e-commerce. Tarif itu adalah bea masuk sebesar 7,5 persen, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen dan Pajak Penghasilan (PPh) 10 persen untuk pengusaha yang dapat menunjukkan NPWP dan 20 persen bagi yang tidak mempunyai NPWP.

"Sehingga, kalau ditotal range-nya antara 27,5 persen hingga 37,5 persen," ujar

Namun, Kemenkeu kini sedang mengajukan perubahan kenaikan tarif tersebut. Perubahan tersebut menjadi besaran bea masuk 7,5 persen, PPN 10 persen dan PPh 0 persen, bagi yang memiliki ataupun tidak memiliki NPWP. Dengan begitu, total bea yang harus ditanggung per pengiriman barang adalah 17,5 persen dikalikan dengan total nilai per pengiriman (CN).

Heru menuturkan, pengurangan nilai pajak dilakukan kecuali untuk  produk tas, sepatu dan produk tekstil. Tarif bea masuk dan PPh tiga produk ini akan diberikan nominal di atas dari tarif normal atau most favourable nation (MFN).

Tarif bea masuk untuk tas berkisar antara 15 hingga 20 persen, sementara sepatu adalah 25 hingga 30 persen, dan tekstil 15 sampai 25 persen. PPN untuk ketiganya masih sama, yaitu 10 persen. Sedangkan, PPh-nya bervariasi dari 7,5 sampai dengan 10 persen.

Perlakuan khusus terhadap produk sepatu, tas dan tekstil bukan tanpa sebab. Heru mengatakan, tiga produk ini kerap ditemui di pasar Indonesia berasal dari luar negeri atau impor. Dampaknya, banyak sentra perajin tas, sepatu dan tekstil terpaksa gulung tikar karena sulit bersaing dengan produk impor, terutama dari China, yang dijual dengan harga lebih murah.

"Ini ditujukan untuk melindungi sentra IKM produsen tiga produk tersebut, seperti di Cibaduyut, Cihampelas dan Tajur," katanya.

photo
Dirjen Bea Cukai Heru Pambudi menunjukkan buku hasil pengukuran dampak ekonomi fasilitas Kawasan Berserikat (KB) dan Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) di Kantor Kemenkeu, Jakarta, Senin (18/2/2019).

Heru menuturkan, rasionalisasi bea masuk, pajak dan penurunan threshold bebas bea masuk akan berlaku setelah pemerintah resmi merevisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 112 Tahun 2018 tentang Ketentuan Impor Barang Kiriman. Kemenkeu sedang mengajukan perubahan ke Kementerian Hukum dan HAM yang diharapkan dapat segera diproses pada awal 2020.

Per akhir November 2019, Heru mengatakan, kegiatan e-commerce melalui barang kiriman pada 2019 di Indonesia mencapai 49,69 juta paket. Sebanyak 98,65 persen di antaranya memiliki nilai di bawah 75 dolar AS. Artinya, tidak sampai tiga persen di antaranya yang membayar bea masuk dan ketentuan pajak selama ini.

Sementara itu, secara nilai, sekitar 83,88 persen di antaranya memiliki nilai di bawah 75 dolar AS. Total, nilai barang kiriman melalui e-commerce sepanjang Januari hingga akhir November 2019 tercatat mencapai 673 juta dolar AS.

Dengan kondisi tersebut, Heru menuturkan, banyak pengusaha dan asosiasi yang memberikan masukan kepada pemerintah. Mereka merasa harus bersaing ketat dengan produk impor melalui e-commerce yang bebas bea masuk dan pajak.

"Terutama setelah dengan adanya perang dagang, sehingga semakin meluas dan berdampak pada industri dalam negeri," katanya.

Secara nilai, barang kiriman melalui e-commerce terus mengalami pertumbuhan. Pada 2017 dan 2018, nilainya masing-masing adalah 290 juta dolar AS dan 540 juta dolar AS. Sampai akhir tahun ini, Heru memperkirakan nilainya dapat mencapai 700 juta dolar AS hingga 800 juta dolar AS.

Plt Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Arif Baharudin menuturkan, perubahan kebijakan ini diharapkan dapat selesai dan diterapkan pada tahun depan. Kemenkeu segera mengirimkan surat pengajuan perubahan regulasi ke Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).

"Kita berharap sesegera mungkin Kemenkumham dapat proses, paling maksimal sepekan," tuturnya.

Ketua Umum Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (HIPPINDO) Budihardjo Iduansjah optimistis, penerapan tarif baru terhadap barang kiriman melalui niaga daring (e-commerce) akan berdampak positif terhadap industri pusat perbelanjaan. Khususnya untuk sektor fesyen yang selama ini tertekan dengan banjirnya produk impor, termasuk di platform online.

Optimisme Budihardjo bukan tanpa sebab. Ia berkaca dari tindakan Kemenkeu sebelumnya terhadap pelanggaran usaha jasa titipan (jastip).

"Saat itu, penjualan Hippindo naik tiga persen. Jadi, bisnis kami sejalan signifikan dengan penindakan dan kebijakan yang tepat," ujarnya ketika ditemui usai konferensi pers di Gedung Kemenkeu, Jakarta, Senin (23/12).

Adapun, Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Nailul Huda menilai, rencana penurunan batas nilai impor melalui niaga daring (e-commerce) yang bebas bea masuk bukan solusi utama dalam membendung produk impor di Indonesia. Sebab, pintu utama arus produk impor bukan dari e-commerce, melainkan transaksi offline.

Huda mencatat, proporsi penjualan melalui e-commerce tidak mencapai empat persen dari penjualan di ritel nasional. Oleh karena itu, apabila pemerintah ingin mengubah kebijakan bebas bea masuk (de minimis value) e-commerce, tidak akan berdampak signifikan pada banjirnya produk impor.

"Nilainya masih sangat kecil," ujarnya kepada Republika.co.id, Senin (23/12).

Alih-alih transaksi e-commerce, Huda menilai, penyebab utama produk impor yang masih membanjiri pasar Indonesia adalah kebijakan pemerintah itu sendiri. Berbagai kebijakan masih membuka peluang masuknya produk-produk dari luar negeri dengan nilai besar. Misalnya tekstil dan produk tekstil (TPT).

Oleh karena itu, Huda menganjurkan agar pemerintah fokus membenahi kebijakan saat ini. Di antaranya menutup Pusat Logistik Berikat (PLB) yang beberapa waktu lalu diketahui menjadi pusat kebocoran impor TPT. 

"Itu pun kalau pemerintah mau," tuturnya.

Di sisi lain, Huda mengingatkan, kebijakan penurunan nilai batas impor e-commerce juga belum tentu efektif. Sebab, barang-barang yang diimpor biasanya memiliki nilai harga yang lebih dibandingkan dari batas nilai tersebut. Hal ini bisa dilakukan dengan membagi proses pengiriman ke beberapa tahap ataupun melalui jasa titipan/ jastip.

photo
Pajak Ekonomi Digital

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement