Jumat 20 Dec 2019 22:02 WIB

Pengamat: Sosok Dewas untuk Tutupi Kealpaan Revisi UU KPK

Dipilihnya figur baik Dewan Pengawas untuk menutupi kealpaan revisi UU KPK.

Rep: Mimi Kartika, Dessy Suciati Saputri/ Red: Andri Saubani
Dewan Pengawas (Dewas) KPK periode 2019-2023 mengucapkan sumpah jabatan saat dilantik Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, Jumat (20/12).
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Dewan Pengawas (Dewas) KPK periode 2019-2023 mengucapkan sumpah jabatan saat dilantik Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, Jumat (20/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari mengatakan, Jokowi hendak menutupi kealpaan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) dengan memilih figur yang baik untuk mengisi Dewan Pengawas (Dewas). Menurut dia, permasalahannya sistem yang buruk ada di UU KPK itu.

"Dewas itu ibarat tudung saji yang bagus. Jokowi hendak menutupi nasi dan sambal basi kealpaan UU KPK dengan tudung saji itu. Dewas memang sengaja di isi figur-figur baik, tetapi problematika kan tidak soal figur baik, tetapi sistem buruk yang dibawa UU KPK," ujar Feri saat dihubungi, Jumat (20/12).

Baca Juga

Ia memaparkan, setidaknya akan ada empat masalah yang bisa terlihat. Satu, di bawah UU Nomor 19 Tahun 2019, Pimpinan KPK tidak lagi dalam struktur tertinggi lembaga melainkan dewas. Pasal 21 ayat (1) UU KPK meletakan pimpinan KPK di bawah dewas.

Sehingga, kata Feri, pada era pimpinan KPK Firli Bahuri, posisi pimpinan KPK tidak terlalu signifikan karena bukan lagi berstatus sebagai penanggungjawab kelembagaan, bahkan bukan penyidik dan penuntut umum. Dewas akan mendominasi di setiap lini karena menentukan putusan akhir setiap tindakan pimpinan dan pegawai KPK.

"Bahkan bisa menentukan pelanggaran etik. Tetapi dewas bisa pula menjadi masalah serius jika ditempati orang-orang bermasalah. Terutama karena sistem yang dibangun UU baru sangat buruk karena menempatkan orang-orang presiden," kata Feri.

Dua, kewenangan menerbitkan surat penghentian penyidikan dan penuntutan (SP3) adalah kewenangan yang tidak serta merta. Menurut Feri, tidak berarti perkara-perkara yang sudah ditangani dua tahun belum ada perkembangan dapat di-SP3.

Sebab, lanjut dia, ketentuan UU KPK menyatakan bahwa KPK dapat menerbitkan SP3. Menurutnya, kata dapat itu bisa bermakna iya atau tidak, bergantung subjektivitas KPK itu sendiri.

"Karena pimpinan KPK bukan penyidik dan penuntut umum maka yang menentukan keluar atau tidaknya SP3 harus penyidik dan penuntut umum dan harus dilaporkan kepada dewas," jelas Feri.

Ketiga, sinergitas itu menjadi keharusan karena tanpa Dewas KPK, pimpinan KPK hanya penyelenggara administratif. Sementara dewas akan menentukan seluruh hal di KPK, mulai dari tindakan pro justisia hingga mengawasi etik pimpinan dan pegawai.

Dengan demikian, Firli mengatakan, pimpinan KPK tidak dapat bertindak sendiri-sendiri tanpa bersinergi dengan dewas. Empat, lanjut Firli, orang-orang berlatar belakang positif yang menjabat dewas tentu akan membawa nuansa positif.

Namun, problematika KPK bukan soal figur yang mengisi jabatan dewas, tetapi sistem yang terbangun dalam UU KPK yang dinilai buruk. Menurut Feri, UU KPK terlalu banyak mengatur tahapan yang tidak perlu untuk melawan pelaku korupsi.

"Jadi dewas itu sistem yang buruk tetapi hendak ditutupi dengan orang-orang baik. Ibarat meja makan, tudung makannya bagus dan indah tetapi makanan di dalamnya basi. Meski dewas di isi orang-orang baik, tapi sistemnya tetap buruk," ungkap Feri.

photo
Ketua Dewan Pengawas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean bersiap mengikuti upacara pelantikan Pimpinan dan Dewan Pengawas KPK di Istana Negara, Jakarta, Jumat (20/12/2019).

Ketua Dewas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean menyampaikan Dewas tak akan mencampuri teknis perkara yang tengah dilakukan oleh lembaga antirasuah itu. Ia menegaskan, Dewas hanya berfungsi untuk mengawasi kinerja pimpinan KPK, bukan memberikan nasehat dan mencampuri perkara di KPK.

"Kami lakukan pengawasannya. Tapi jangan lupa kami bukan penasihat, bukan. Kami tidak akan mencampuri teknis perkara yang dilakukan KPK," ujar Tumpak di Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Jumat (20/12).

Lebih lanjut, ia juga menyampaikan arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam menjalankan tugasnya di Dewas. Menurutnya, Jokowi meminta agar Dewas dapat memberikan fondasi yang kuat kepada para pimpinan KPK dalam menegakan pemberantasan korupsi.

"Secara umum, kami harus melakukan penegakkan pemberantasan korupsi. Khusus kami Dewan Pengawas akan memberikan fundamen yang kuat untuk pimpinan KPK bisa melaksanakan secara baik menjamin kepastian hukum," ucap Tumpak.

photo
Komisioner KPK

Dapat mengunjungi Baitullah merupakan sebuah kebahagiaan bagi setiap Umat Muslim. Dalam satu tahun terakhir, berapa kali Sobat Republika melaksanakan Umroh?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement