Kamis 19 Dec 2019 10:53 WIB

Aturan Gunung Everest, Efektifkah Cegah Kematian Pendaki?

Aturan mendaki Everest dibuat setelah viralnya foto antrean ke puncak Gunung Everest.

Pendaki berfoto saat mencapai puncak Gunung Everest. Pemerintah Nepal mengeluarkan aturan memperketat izin mendaki ke puncak Everest setelah muncul korban.
Foto: EPA
Pendaki berfoto saat mencapai puncak Gunung Everest. Pemerintah Nepal mengeluarkan aturan memperketat izin mendaki ke puncak Everest setelah muncul korban.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Idealisa Masyrafina/Puti Almas

KATHMANDU -- Pendaki veteran Gunung Everest meragukan aturan baru yang diusulkan oleh pemerintah Nepal untuk memperketat proses perizinan naik ke Everest bisa mengatasi masalah. Usulan aturan diajukan setelah insiden meningkatnya angka kematian di puncak gunung tertinggi dunia.

Baca Juga

Pendaki asal Amerika Ed Viesturs dan Alan Arnette mengatakan UU baru yang dirancang, apabila akhirnya diterapkan, tidak mungkin dapat mengatasi tren pertumbuhan pendaki yang tidak berpengalaman mendaki ke puncak Himalaya.

"Saya telah melihat film ini berkali-kali sehingga benar-benar dapat diprediksi. Setiap tahun sejak 2013, ada yang tidak beres dan mereka (pemerintah Nepal) mengumumkan semua aturan baru ini dan tidak pernah menerapkannya," kata Arnette dilansir dari Reuters, Kamis (19/12).

Sebelas pendaki tewas di Gunung Everest tahun ini, dengan sembilan pendaki di sisi Nepal dan dua di sisi Tibet. Banyak pendaki tewas akibat terburu-terburu mendaki saat muncul jendela dari cuaca yang memadai di akhir bulan Mei. Akhirnya muncul antrian untuk mendekati puncak Everest.

"Sebagian besar tim memilih untuk pergi ke puncak ketika jendela cuaca pertama diperkirakan," kata Viesturs.

Menurut Viesturs, semua orang takut kehilangan apa yang mungkin menjadi satu-satunya hari yang sempurna.  Biasanya ada beberapa hari mendaki puncak yang baik, tetapi ada tekanan untuk mendaki ketika semua orang pergi.

Nepal secara tradisional telah mengeluarkan izin pendakian kepada siapa pun yang siap membayar biaya 11 ribu dolar AS. Pemberian izin itu tahun mencapai rekor dengan 381 izin yang keluar. Dengan tambahan Sherpa dan pemandu artinya lebih dari 800 orang berusaha mencapai puncak selama jendela cuaca pendek.

Kemacetan menuju puncak Everest menarik perhatian dunia ketika sebuah foto antrean pendaki yang melangkahi mayat untuk mencapai puncak menjadi viral. Kepadatan pendaki menyebabkan penundaan fatal di kawasan dengan udara tipis yang dikenal sebagai "zona kematian" di atas 8.000 meter.

Hal itu menimbulkan kekhawatiran bahwa pendaki gunung yang tidak berpengalaman didorong untuk mencoba mendaki oleh perusahaan pemandu yang tidak bermoral.

Di antara perubahan yang diusulkan oleh pemerintah Nepal adalah persyaratan bagi pendaki untuk menyerahkan laporan medis oleh dokter bersertifikat yang mengungkapkan sejarah dan kondisi kesehatan mereka. Persyaratan lain yang disarankan adalah pendaki menyerahkan bukti bahwa mereka telah mencapai puncak 6.500 meter lainnya di Nepal.

Arnette mengatakan perubahan pertama tidak akan cukup, mengingat potensi untuk memalsukan dokumen medis. Sementara yang kedua tidak masuk akal karena banyak pendaki yang mendaki puncak yang lebih tinggi di tempat lain.

Rekomendasi telah diajukan ke kabinet untuk persetujuan, menurut Mira Acharya, yang mengawasi kegiatan pendakian untuk Departemen Pariwisata pemerintah Nepal. Pemerintah belum memberikan kerangka waktu untuk pengenalan undang-undang baru.

Viesturs, yang memiliki sejarah luas tentang Everest, mengatakan perubahan yang diusulkan tidak cukup untuk mengatasi mentalitas kelompok "group think" yang menyebabkan kepadatan antrian Everest pada akhir Mei. Masalah ini, kata Viesturs, juga perlu ditangani oleh para pemimpin pendakian di kamp.

"Saya kenal beberapa pendaki yang menunggu sampai nanti dan memiliki gunung itu hampir untuk mereka sendiri," kata Viesturs tentang musim pendakian tahun ini.

"Kami benar-benar perlu menjawab mengapa begitu banyak orang berada di punggung puncak pada hari yang sama? Bagaimana Anda bisa mengendalikannya?" kata dia.

photo
Pegunungan Himalaya dengan Everest di puncaknya.

Kematian pendaki

Pada akhir Mei tahun ini dua pendaki gunung tewas di Puncak Everest. Pendaki India, Anjali Kulkarni (55 tahun), meninggal dalam perjalanan kembali dari pendakian ke puncak Gunung Everest.

Kulkarni terjebak dalam kemacetan di atas kamp empat pada ketinggian 8.000 meter. Itu adalah kamp terakhir sebelum puncak.

Menurut Shantanu Kulkarni, ibunya telah melakukan perjalanan selama lebih dari 25 tahun dan telah dilatih untuk mendaki Gunung Everest selama enam tahun terakhir. Dia telah menyelesaikan sejumlah perjalanan besar, termasuk Gunung Elbrus di Rusia selatan dan Gunung Kilimanjaro di Tanzania. Dia juga seorang pelari maraton yang rajin.

Anjali Kulkarni memiliki agen periklanan bersama suaminya. "Tetapi mereka berdua pensiun untuk mengejar impian mereka untuk berdiri di puncak Gunung Everest," kata Shantanu, dilansir dari CNN.

Pendaki gunung Amerika Donald Lynn Cash (55 tahun), juga meninggal Mei lalu setelah pingsan karena penyakit ketinggian saat turun dari puncak, menurut perusahaan ekspedisi Nepal Pioneer Adventure Pvt Ltd. Foto-foto yang diambil pada 22 Mei 2019 dan dirilis oleh pendaki Proyek Ekspedisi Nirmal Purja menunjukkan lalu lintas padat para pendaki gunung yang berdiri untuk menuju puncak Gunung Everest.

Pendaki Nirmal Purja mengunggah gambar di Instagram lalu lintas manusia yang padat di gunung itu Mei lalu, menunjukkan jejak padat pendaki yang berkerumun di punggung bukit yang terbuka ke puncak. Dia menambahkan bahwa ada sekitar 320 orang dalam antrian ke puncak gunung di area yang dikenal sebagai "zona kematian."

Danduraj Ghimire, direktur jenderal Departemen Pariwisata Nepal, menolak dugaan bahwa kemacetan pendaki berkontribusi pada kematian. Ia menyebut klaim tersebut tidak berdasar.

Puncak Gunung Everest memiliki ketinggian 8.848 meter. Pada tingkat itu, setiap napas hanya mengandung sepertiga oksigen yang ditemukan di permukaan laut.

Tubuh manusia juga cepat memburuk pada ketinggian itu, yang berarti kebanyakan orang dapat menghabiskan hanya beberapa menit di atas, tanpa pasokan oksigen tambahan, sebelum menjadi tak tertahankan.

"Cuaca belum terlalu bagus pada musim pendakian ini. Jadi ketika ada tanda kecil ketika cuaca cerah, pendaki bergerak," kata Ghimire.

"Pada 22 Mei, setelah beberapa hari cuaca buruk, ada tanda kecil cuaca cerah, ketika lebih dari 200 pendaki gunung naik ke Everest. Penyebab utama kematian di Everest adalah penyakit ketinggian yang terjadi pada sebagian besar pendaki yang kehilangan nyawa mereka musim ini juga," tambahnya.

Pada 27 Mei 2019, seorang pendaki asal Colorado, Amerika Serikat (AS) bernama Christopher Kulish dilaporkan meninggal setelah melakukan pendakian dan mencapai puncak Everest. Ia menjadi korban jiwa ke-11 yang harus kehilangan nyawa di gunung tertinggi di dunia itu dalam beberapa pekan terakhir.

Kulish dilaporkan meninggal di sebuah kamp di bawah puncak, setelah turun dari puncak. Hingga saat ini, penyebab pasti kematian pria berusia 62 tahun itu belum diketahui.

photo
Pendaki harus mengantre menuju puncak Gunung Everest di Nepal.

Fakta Everest

Everest adalah gunung tertinggi dunia. Predikat tersebut namun baru disematkan pada Everest di tahun 1852 ketika dilakukan survei oleh pemerintah India.

Di tahun 1865, gunung yang dulu lebih dikenal sebagai Peak XV diberi nama setelah sosok yang menemukannya yaitu Sir George Everest. Ia adalah seorang surveyor asal Inggris bekerja di India dari tahun 1830-1843.

Pegunungan Himalaya terbentuk dari dorongan tektonik ke atas oleh pergerakan patahan India-Australia yang bergerak ke selatan di bawah patahan Eurasia. Dorongan ke atas itu juga terjadi setelah tabrakan dua patahan sekitar 40-50 juta tahun lalu.

Pegunungan Himalaya namun baru mulai muncul sekitar 25-30 juta tahun lalu. Bagian Great Himalaya baru mulai terbentuk saat era Pleistocene Epoch antara 2,6 juta sampai 11,7 juta tahun lalu.

Berapa tinggi pasti Gunung Everest pernah menjadi perdebatan. Tahun 1999 National Geographic Society Amerika pernah membuat penghitungan mengunakan metode GPS. Hasilnya tinggi Everest ditentukan 8.850 meter, dengan plus minus 2 meter. Hasil perhitungan itu diterima oleh beragam spesialis geodesi dan kartografi.

Di tahun 2005, China melakukan ekspedisi menggunakan radar yang bisa menembus es dan tersambung ke GPS. Hasilnya, China menyebut Everest setinggi 8.844 meter.

Nepal namun tidak menyetujui perhitungan China karena hitungan itu tidak mempertimbangkan tinggi salju. China pasalnya memberi nama hitungannya dengan 'Tinggi Batu' bukan 'Tinggi Salju' seperti hitungan Nepal

Di April 2010, akhirnya China dan Nepal mengakhiri sengketa penghitungan. Keduanya sepakat kedua hitungan adalah valid, dilansir dari laman Britannica.

photo
Infografis maut di pendakian Everest.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement