Rabu 18 Dec 2019 15:01 WIB

TKI Masih Rentan Alami Pelanggaran HAM

Menurut Migrant Care para TKI masih rentan mengalami pelanggaran HAM dan kekerasan

Rep: Antara/ Red: Christiyaningsih
Menurut Migrant Care  para TKI masih rentan mengalami pelanggaran HAM dan kekerasan. (ilustrasi)
Foto: Republika
Menurut Migrant Care para TKI masih rentan mengalami pelanggaran HAM dan kekerasan. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JEMBER -- Direktur Eksekutif Migrant Care Indonesia Wahyu Susilo mengatakan tenaga kerja Indonesia (TKI) atau pekerja migran Indonesia (PMI) masih sangat rentan mengalami pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Para TKI juga masih rentan mengalami kekerasan.

Sepanjang 2019 tercatat masih terjadi kasus pelanggaran hak asasi pekerja migran Indonesia di antaranya kematian Tamam (31 Oktober 2019) dan Ngatiyai (11 November 2019) dalam antrean pengurusan paspor di KBRI Kuala Lumpur. Demikian diungkapkan  Wahyu dalam keterangan tertulisnya memperingati Hari Buruh Migran Sedunia yang diterima di Kabupaten Jember, Rabu (18/12).

Baca Juga

Menurutnya kasus itu merupakan ironi tatkala Kementerian Luar Negeri selalu mengedepankan perlindungan WNI sebagai prioritas politik luar negeri. Selain itu ratusan ribu pekerja migran Indonesia di Malaysia masih berada dalam ancaman deportasi.

"Pemerintah pusat dan daerah juga tidak mengambil tindakan signifikan ketika ratusan mayat pekerja migran dipulangkan ke kampung halamannya, Nusa Tenggara Timur," tambahnya.

Selain itu, pekerja migran juga menghadapi kerentanan baru terkait dengan kebijakan keamanan negara tujuan bekerja seperti yang dialami Yuli Riswati. Yuli adalah perempuan pekerja migran yang juga menjadi citizen journalist Migran Pos. Ia dideportasi bukan hanya karena status keimigrasiaannya, tetapi juga aktivitasnya dalam mewartakan situasi demonstrasi anti RUU Ekstradisi di Hong Kong.

Di Singapura, tiga perempuan pekerja migran Indonesia harus menghadapi pengadilan atas dugaan pendanaan aktivitas terorisme. "Pada awal Desember 2019, Pengadilan Negeri Tangerang menjatuhkan putusan penjara 11 tahun pada pelaku perdagangan manusia terhadap EH yang dipekerjakan di Suriah dan Irak. Putusan tersebut tentu harus diapresiasi," jelasnya.

Dalam satu pekan, dua pekerja migran Indonesia mengalami permasalahan. Sebagian besar yakni 74 persen dialami oleh pekerja migran perempuan baik kekerasan fisik maupun kekerasan seksual.

Atas dasar hal tersebut Migrant Care dalam Peringatan Hari Buruh Migran Sedunia menuntut kepada Pemerintah Indonesia untuk segera menuntaskan seluruh aturan turunan dan kelembagaan tata kelola perlindungan pekerja migran sesuai UU No. 18/2017. Wahyu mengatakan Migrant Care juga menolak likuidasi UU No. 18/2017 ke dalam rencana Omnibus Law bidang Ketenagakerjaan.

"Kami mendesak pemerintah segera menyusun peta jalan perlindungan pekerja migran Indonesia yang berorientasi pelayanan publik, berwatak desentralisasi, dan bersperspektif keadilan dan kesetaraan gender," jelasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement