REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) merekomendasikan peningkatan dana bantuan untuk partai politik (banpol) yang berasal dari uang negara (APBN). Rekomendasi pembiyaan tersebut dianggap sebagai upaya pencegahan korupsi yang selama ini kerap terjadi di internal parpol.
KPK dan LIPI mengusulkan, banpol dialakokasikan dalam kas bangsa sebesar Rp 16.922 per suara. Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan menerangkan, pendanaan parpol oleh APBN perlu mengingat perannya sebagai salah satu institusi bernegara di Indonesia. Menurutnya selama ini, pun parpol menjadi satu-satunya sarana regenerasi kepemimpinan dan rekrutmen politik. Peran parpol tersebut, yang dianggap menjadi kewajiban negara melakukan pembiayaan.
"Sehingga pembiyaan parpol oleh negara secara signifikan diperlukan," ujar Pahala di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (11/12).
Pembiyaan parpol oleh negara, pun diterangkan Pahala, sebagai bentuk pengambilalihan kepemilikan parpol oleh negara. Karena selama ini, kata dia, parpol mengandalkan pembiyaan lewat peran para individu pemilik modal yang rentan dijadikan alat transaksi politik dan berisiko koruptif.
"Harapannya, (dengan pembiyaan oleh negara) ke depan parpol benar-benar menjadi infrastruktur demokrasi yang berbadan hukum publik," kata Pahala.
Pahala menjelaskan, rekomendasi KPK tersebut, berasal dari kajian bersama LIPI tentang skema pembiayaan parpol oleh negara. Kongsi kajian tersebut, dilakukan selama satu tahun belakangan. Diterangkan, selama pengkajian, KPK dan LIPI melibatkan 10 parpol pemenang Pemilu 2014. Pelibatan parpol tersebut, agar diketahui tentang seluruh isi dan kebutuhan masing-masing parpol. Termasuk tatacara rekruitmen, dan sumber pendanaannya. Dari hasil pengkajian tersebut, KPK dan LIPI, belakangan hanya menyisakan lima partai.
Yaitu, PDI Perjuangan, Golkar, dan Gerindra, PKB, serta PKS, juga Demokrat. Lima partai tersebut, penguasa 50 persen lebih 575 total kursi di DPR RI 2019-2024 hasil dari Pemilu 2019. Dari kajian di lima partai tersebut, KPK dan LIPI mengambil angka banpol sebesar Rp 16.922 persuara. Pahala menerangkan, angka banpol tersebut, tak dibiayai seluruhnya oleh negara.
Pahala melanjutkan, hasil kajian sementara hanya merekomendasikan pembiayaan lewat APBN sebesar 50 persen dari jumlah suara parpol di tingkat nasional. Pun dana banpol tersebut, tak bisa digunakan serampangan. Rekomendasi KPK dan LIPI menegaskan dana banpol, hanya untuk membiayai sejumlah kegiatan parpol dalam fungsinya sebagai instrumen demokrasi. Bukan untuk dijadikan dana dalam kontestasi politik.
"Bantuan pendanaan negara, hanya untuk membiayai kebutuhan operasional parpol, dan untuk pendidikan parpol. Tidak termasuk untuk kontestasi politik," jelas Pahala.
Adapun mekanisme pemberian bantuannya, kata Pahala dapat dilakukan pada tingkat nasional dan daerah. Pada level nasional, skema pembiayaannya bertahap yang dilakukan saban tahunnya selama lima tahun sesuai periodesasi pemilu.
Pada tahun pertama, pembiyaan diberikan sebesar 30 persen. Di tahun kedua, sebesar 50 persen, dan di tahun ketiga senilai 30 persen. Pada tahap atau tahun keempat, bantuan sebesar 80 persen. Di tahun pergantian, atau kelima, bantuan menjadi 100 persen. KPK dan LIPI menghitung, skema bantuan tersebut, tak membebani APBN.
Karena menurut Pahala, hasil hitungan dengan skema bertahap tersebut, APBN hanya cukup mengalokasikan banpol sebesar Rp 320 miliar. Jumlah tersebut, dengan asumsi suara pemilih dalam Pemilu 2019 sebanyak 126 juta orang.
"Membandingkan APBN 2019 (sebesar RP 2.400 triliuan), angka ini (Rp 320 miliar) relatif kecil tidak sampai satu persen," ujar Pahala.
Hanya sekitar 0,0046 persen. Ia menambahkan, jika menghitung sampai lima tahun, APBN hanya terkocek di angka Rp 3,9 triliun. Adapun pada tingkat provinsi, dan kabupaten kota, pun nilai banpol ini, tak terasa. Karena menurut kajian KPK dan LIPI, ada acuan PP 1/2018 tentang dana provinsi dan kabupaten, kota.
Aturan tersebut, menebalkan tentang kenaikan pendanaan di tingkat satu, naik 20 persen dari tingkat nasional, dan kenaikan tersebut lebih besar 50 persen di pemerintahan tingkat dua. Menurutnya, mengacu aturan tersebut, dana banpol di level provinsi, kabupaten, dan kota, hanya mengalokasi Rp 928,7 miliar.
Dengan skema peningkatan bertahap, kata Pahala, hingga tahun kelima bantuan parpol di tingkat provinsi, kabupaten, kota, sebesar Rp 11,2 triliun. Sehingga kata dia, jika ditotal pendanaan parpol oleh negara, hanya sebesar Rp 15,1 triliun.
"Tetapi, bantuan negara ini membutuhkan persyaratan-persyaratan,” sambung Pahala. Kata dia, KPK sebagai lembaga pengawas keuangan negara, mewajibkan parpol-parpol penerima banpol, wajib menerapkan Sistem Integrtias Partai Politik (SIPP). “Ternyata tidak semua partai yang mau menyerahkan (integritas) SIPP ini," katanya.
Mengacu pada SIPP di KPK tersebut, setiap parpol wajib memiliki kode etik, sistem demokrasi dalam roda organisasi, sistem kaderisasi dan rekrutmen, serta keuangan yang dapat diakses dan terbuka bagi publik. Selain itu, penggunaan uang negara oleh parpol tersebut, melibatkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai auditor negara untuk melakukan koreksi dan klarifikasi dari setiap Rupiah milik negara yang mengalir ke parpol. Hasil audit tersebut, pun wajib diumumkan kepada publik sebagai bentuk transparansi dan tanggung jawab.