Kamis 12 Dec 2019 00:37 WIB

Golkar tidak Hanya Larang Eks Napi Korupsi Maju Pilkada

Partai Golkar tidak akan mencalonkan mantan narapidana kasus apapun di Pilkada.

Rep: Febrianto Adi Saputro & Nawir Arsyad Akbar/ Red: Bayu Hermawan
Koruptor (ilustrasi)
Foto: Dok Republika.co.id
Koruptor (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Politikus Partai Golkar Adies Kadir menegaskan bahwa Partai Golkar tidak akan mencalonkan calon kepala daerah (cakada) yang pernah berstatus narapidana pada Pilkada 2020. Tidak hanya narapidana korupsi, namun juga mantan narapidana kasus lain.

"Tidak pernah terkait kasus-kasus. Bukan hanya (korupsi), tidak pernah berstatus terpidana," kata Adies, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.

Baca Juga

Wakil ketua komisi III itu mengatakan bahwa Partai Golkar menginginkan calon yang benar-benar bersih. Jika ada mantan narapidana yang tetap ingin maju, menurut Adies paling tidak yang bersangkutan harus benar-benar bersih sehingga bisa diterima masyarakat atau tidak.

Ia menambahkan, Partai Golkar bakal lebih selektif dalam memilih calon kepala daerah. Salah satu caranya yaitu dengan melibatkan lembaga survei. "Kan ada surveinya kita, kita survei," ujarnya.

Nantinya juga di dalam syarat Partai Golkar akan mencantumkan syarat bahwa calon kepala daerah harus bebas dari kasus dan status narapidana apapun.

Sebelumnya diberitakan, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) terkait masa tunggu bagi mantan terpidana maju pilkada. MK memutuskan, mantan terpidana termasuk kasus korupsi baru boleh maju pilkada jika telah melewati masa tunggu selama lima tahun sejak selesai menjalani hukuman penjara.

"Amar putusan, mengadili dalam provisi, mengabulkan permohonan provisi para pemohon untuk seluruhnya. Dalam pokok permohonan, mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," ujar Ketua Hakim Konstitusi Anwar Usman dalam sidang pembacaan putusan di gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (11/12).

Para pemohon perkara ini diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan Indonesia Corruption Watch (ICW) dengan nomor perkara 56/PUU-XVII/2019. Keduanya meminta MK memutuskan ada jeda bagi mantan terpidana, khususnya korupsi yang ingin maju pilkada yakni selama 10 tahun usai menjalani pidana pokok.

Namun, MK tak mengabulkan usulan masa jeda 10 tahun karena tak beralasan menurut hukum. MK kemudian memutuskan bagi mantan terpidana kecuali terhadap pidana kealfaan dan tindak pidana politik yang mencalonkan diri di pilkada telah melewati jangka waktu lima tahun setelah menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Sehingga, MK memutuskan perubahan bunyi pada Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada yang dipaparkan Hakim Anwar dalam amar putusannya.

"Calon gubernur dan calon wakil gubernur, calon bupati dan calon wakil bupati, serta calon wali kota dan calon wakil wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat 1 harus memenuhi persyaratan sebagai berikut; (g) 1. Tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih kecuali terhadap pidana yang melakukan tindak pidana kealfaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang berkuasa," jelas Anwar.

"2. Bagi mantan terpidana telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana. Dan 3. Bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang," lanjutnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement