Senin 09 Dec 2019 20:11 WIB

MK Minta Bukti Sidang Paripurna Pengesahan UU KPK tak Kuorum

MK minta bukti sidang paripurna pengesahan UU KPK tak kuorum kepada penggugat.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Bayu Hermawan
Kuasa Hukum Pemohon Feri Amsari (kiri) mengikuti sidang pengujian formil atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin (9/12/2019).
Foto: Antara/Dhemas Reviyanto
Kuasa Hukum Pemohon Feri Amsari (kiri) mengikuti sidang pengujian formil atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin (9/12/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua KPK Agus Rahardjo dan pegiat antikorupsi menilai Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) cacat formil dengan mengajukan uji formil kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Salah satu alasannya, dalam pengambilan keputusan di sidang paripurna pengesahan UU KPK di DPR dinilai tak memenuhi syarat kuorum.

Dalam sidang pendahuluan uji formil yang diajukan Ketua KPK pada Senin (9/12) ini, Hakim MK Sadli Isra mempertanyakan bukti terkait anggapan sidang paripurna tersebut tak memenuhi syarat kuorum. Menurutnya, pemohon seharusnya dapat menyertakan bukti seperti dokumentasi secara menyeluruh yang memperkuat dalil itu.

Baca Juga

"Dan yang paling penting adalah sebetulnya kalau tadi kuasa pemohon mengatakan ini dari pemantauan kami hadir sekian orang kira-kira bukti apa yang bisa disodorkan ke kami untuk menyatakan bahwa yang diklaim sekian orang itu bisa kami lihat kebenarannya," ujar Saldi saat memberikan nasihat hakim.

Kemudian, salah satu dari tim kuasa pemohon, Violla Reininda beralasan, penyajian bukti seperti daftar hadir anggota DPR yang hadir sidang paripurna pengesahan UU KPK sulit untuk diakses. Selain itu, dokumen lain seperti salinan putusan rapat pimpinan badan legislasi (baleg) pun sulit untuk diakses.

Ia mengaku, sudah beberapa kali mengajukan permohonan ke pusat informasi DPR agar dapat mengakses dokumen-dokumen tersebut. Akan tetapi, sampai persidangan pendahuluan ini berlangsung, tidak ada respons positif dari pusat informasi DPR.

"Jadi kami belum dapat untuk mengajukan bukti-bukti tersebut ke dalam persidangan. Dan ini pun sudah kami tegaskan juga dalam dalil permohonan kami bahwa proses pembentukan ini (UU KPK) tidak memenuhi akses keterbukaan dan juga proses penyebarluasannya pun cukup minim pada masyarakat," kata Violla.

Kuasa hukum pemohon lainnya, Feri Amsari menyebutkan, berdasarkan catatan Kesekretariatan Jenderal DPR, rapat paripurna persetujuan perubahan UU KPK pada 17 September 2019 dihadiri 289 dari 560 anggota DPR. Faktanya, berdasarkan penghitungan manual hingga pukul 12.18 WIB, hanya terdapat 102 anggota DPR yang hadir dalam rapat paripurna.

Namun, pemohon hanya menyertakan bukti untuk memperkuat dalil tersebut dengan berita-berita daring dari media massa. Pemohon kemudian menganggap anggota DPR yang secara fisik tidak hadir dalam ruangan sidang hanya mengisi absen kehadiran saja.

Anggota DPR yang mengisi absen tetapi tidak mengikuti jalannya persidangan hingga pimpinan sidang mengetuk palu pengesahan. Hal itu dilihat dari pantauan wartawan yang meliput langsung jalannya persidangan.

Feri pun menilai tata tertib DPR menentukan sidang harus dihadiri secara fisik alias tidak ada anggota menitip absen. Menurut Feri, sidang paripurna pengesahan UU KPK tidak memenuhi syarat kuorum sehingga keputusan dalam sidang tidak legitimasi formil.

"Dalam pokok permohonan, MK mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya, menyatakan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap menyatakan UU KPK mengalami cacat formil dan cacat prosedural sehingga tidak dapat berlaku," tutur Feri.

Tiga pimpinan KPK yakni Agus Rahardjo, Laode M Syarif, dan Saut Situmorang mengajukan permohonan uji formil UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK bersama 10 orang pegiat antikorupsi. Setelah sidang pendahuluan hari ini, MK memberikan waktu 14 hari sampai 23 Desember 2019 untuk pemohon memperbaiki berkas permohonan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement