REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Centre of Strategic International Studies (CSIS) Edbert Gani menilai tak ada urgensi menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam wacana amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. GBHN akan menjadikan Majelis Perwakilan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara sehingga tidak konsisten dengan sistem presidensial yang saat ini diterapkan.
"Terkait isu GBHN kami memiliki pandangan. Pertama kali menjadikan MPR lembaga tertinggi negara lagi. Itu tidak konsisiten dengan sistem presidensial yang kita pilih," ujar Gani dalam sebuah diskusi di kawasan Jakarta Pusat, Ahad (8/12).
Ia menjelaskan, tak ada urgensi menghidupkan kembali GBHN dalam wacana amandemen UUD 1945. Setidaknya, kata dia, ada dua argumen yang membuat amandemen UUD 1945 dan menghidupkan GBHN tak urgensi untuk dilakukan.
Pertama, kebutuhan akan pembangunan rencana panjang dan menengah Indonesia sudah tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Kemudian diturunkan kepada pemerintahan daerah dalam Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) sebagai landasan pembangunan.
Kedua, lanjut Gani, adanya GBHN dapat mereduksi atau membatasi inovasi-inovasi dari presiden untuk menjalankan pemerintahan. Sebab, pembangunan telah didesain dan ditetapkan dalam GBHN.
"Apabila ada GBHN mengakibatkan untuk mereduksi insentif presiden melakukan inovasi," kata dia.
Sebelumnya, dalam pembahasan amandemen UUD 1945 beredar wacana untuk merevisi masa jabatan presiden menjadi tiga periode atau satu periode tujuh tahun. Tak berselang yang lama juga, ada wacana untuk mengubah pemilihan langsung menjadi tidak langsung.
Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin menyoroti pembahasan wacana amendemen UUD 1945 yang dinilai telah melebar dari tujuan awal. Kiai Ma'ruf berharap, pembahasan terbatas sesuai tujuan awal yakni wacana mengembalikan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) ke MPR.
Ini disampaikan Kiai Ma'ruf menyusul pembahasan amandemen yang ingin mengubah sistem pemilihan presiden secara langsung. "Kalau terbatas ya terbatas, jadi jangan melebar ke mana-mana nanti kalau tambah ini lagi, plus ini, tambah ini lagi, tambah ini bisa di pemilihan umum itu langsung tidak langsung, saya sepakat pembahasannya terbatas saja," ujar Kiai Ma'ruf saat diwawancarai wartawan di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Rabu (4/12).