Jumat 06 Dec 2019 17:29 WIB

Penutupan Tambak di Pesisir Barat Dinilai Bermasalah

Penutupan tujuh tambak udang tersebut tidak berdasar.

Rep: Mursalin Yasland/ Red: Muhammad Hafil
Ketua Ikatan Petambak Pesisir Barat Sumatera Agusri Syarief (kanan) mengklarifikasi penutupan tujuh usaha tambak udang Pesisir Barat,  di Bandar Lampung, Jumat (6/12).
Foto: Republika/Mursalin Yasland
Ketua Ikatan Petambak Pesisir Barat Sumatera Agusri Syarief (kanan) mengklarifikasi penutupan tujuh usaha tambak udang Pesisir Barat, di Bandar Lampung, Jumat (6/12).

REPUBLIKA.CO.ID, BANDAR LAMPUNG – Ikatan Petambak Pesisir Barat (IPBBS) terus memperjuangkan tujuh usaha tambak udang yang ditutup (disegel) Pemkab Pesisir Barat pada Jumat (29/11). IPPBS menilai sikap Pemkab Pesisir Barat yang menutup usaha budi daya udang vanname tersebut hanya sepihak dan tidak berdasarkan aturan hukum yang jelas.

Tujuh usaha tambak udang yang ditutup tersebut anggota IPPBS yang telah berinvestasi sejak tahun 2014, sebelum Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 2017 tentang Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah Kabupaten Pesisir Barat tertanggal 21 Juni 2017.

Baca Juga

Ketua IPPBS Agusri Syarief mengatakan, penutupan operasional tujuh usaha tambak udang oleh Pemkab Pesisir Barat bermasalah baik secara aturan hukum maupun administrasi. “Kami melihat tindakan Pemkab Pesisir Barat sepihak dan arogansi. Penyegelan ini berita acaranya tidak jelas. Seharusnya ada keputusan pengadilan atau pergub (Peraturan Gubernur),” kata Agusri Syarief di Bandar Lampung, Jumat (6/12).

Menurut dia, penutupan tujuh tambak udang tersebut tidak berdasar, karena selama ini investasi tambak udang kualitas ekspor sejak tahun 2014 hinga 2019, telah memberikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan berkontribusi dalam pembangunan sebelum kabupaten terbentuk maupun saat terbentuk. “PAD dari tambak udang Rp 600 juta per tahun, jadi tambak udang ditutup Pemkab akan rugi,” katanya.

Dia mengatakan, alasan Pemkab Pesisir Barat yang menutup tujuh usaha tambak udang tersebut seperti yang tertuang dalam tulisan pelang penutupan yang dipasang pada 29 November 2019. Menurut Pemkab Pesisir Barat penyegelan karena ingin menjalankan amanat Perda Nomor 8 Tahun 2017 karena tidak memiliki perizinan lagi.

Menurut dia, pemilik tambak udang sudah beberapa kali mengajukan untuk perpanjangan perizinan, namun tidak mendapatkan kesempatan. Setiap mengajukan izin, pihak pemkab menyatakan tidak ada lagi izin, otomatis usaha tambak udang akan ditutup.

Selain itu, pemkab menyatakan, penutupan dikarenakan tambak udang menimbulkan pencemaran lingkungan yang tinggi, Agusri membantahnya. Menurut dia, kalau membuang udang mati atau busuk ke laut hingga berton-ton. “Tunjukkan buktinya (kalau memang mencemari lingkungan), lagi pula berapa nilainya kalau udang dibuang ke laut sampai berton-ton,” kata Agusri yang memiliki anggota puluhan petambak udang di Lampung, Bengkulu, hingga Sumatra Barat.

Sejak perda diterbitkan, Agusri menyatakan sebelumnya tidak pernah ada sosialisasi kepada petambak terkait penutupan, dan juga penjelasan mengenai rencana pengembangan kawasan wisata sesuai dengan perda tersebut. “Sama sekali kami tidak penah diajak bicara, mungkin kami bisa berkontribusi untuk pengembangan kawasan wisata,” ujarnya.

Alasan penyegelan usaha tambak udang untuk menyelamatkan anak cucu generasi ke depan, dia mengatakan seharusnya usaha tambak udang yang ada di Indonesia ditutup semua, karena dapat merusak kehidupan anak cucu bangsa dan negara ini. IPPBS telah mengadukan nasibnya kepada Ombudsman Ri dan gubernur Lampung.

Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Pesisir Barat Jon Edward mengatakan, penyegelan tambak udang tersebut semata-mata menegakkan aturan yang telah ada yakni Perda Nomor 8 Tahun 2017. Menurutnya, pemkab sudah memberikan ruang dan waktu kepada petambak untuk mengurusi dan melengkapi izin hingga batas waktu yang diberikan 29 November 2019.

“Kami sudah memberikan surat peringatan tanggal 11 November 2019, mereka (petambak) masih menebar benur. Berarti tidak pernah menghargai kami. Mestinya dihargai dulu kalaupun ada pembicaraan lanjutan. Ini nggak kami ditantang-tantang. Kita hanya menegakkan saja perda itu,” kata Kepala DPMPTSP Pesisir Barat Jon Edward saat dikonfirmasi Republika, Jumat (6/12).

Menurut dia, pemkab dan petambak hendaknya sama-sama menjaga kabupaten ini. Ia menyatakan, fakta di lapangan harus dilihat, seperti apa petambak menjalankan usahanya, apakah ada kajian Analisis Dampak Lingkungan (Amdal), limbah ditaruh di mana, kalau udang busuk dibuang ke mana, biota laut yang ada di sana sudah tidak ada lagi.

“Kami ingin menyelamatkan kabupaten dengan sebaik-baiknya karena harapan ke depan entah 200 tahun atau 300 tahun lagi kita hidup di sana. Sisi kemanusiaannya tidak pernah dilihat, yang ada kami aroganlah, tidak ada,” kata Jon Edward.

Mengenai tidak adanya sosialisasi perda tersebut, Jon mengatakan kalau petambak tidak tahu perda tersebut, mengapa mereka mengajukan izin yang dibatasi sampai November 2019. “Yang kami panggil itu, mereka yang utus ke kantor pemda, hanya penjaga, pembersih kolam, pemilik tidak pernah ada,” ujarnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement