Jumat 06 Dec 2019 04:30 WIB

Pengobatan Alternatif Favorit Warga +62

Masyarakat masih mendewakan pengobatan alternatif dalam mencari kesembuhan.

Reiny Dwinanda
Foto: istimewa/doc pribadi
Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Reiny Dwinanda*

Pengobatan alternatif pamornya selalu mengalami pasang-surut di Indonesia. Warga +62 entah mengapa mudah sekali memercayai klaim kemampuan sesuatu atau seseorang dalam menyembuhkan penyakit.

Rasio seolah tersingkirkan begitu mendengar ada cara, alat, bahan, atau orang yang mampu memberikan terobosan di bidang pengobatan. Orang seperti mendapat solusi agar terhindar dari konsumsi obat konvensional seumur hidup, tindakan operasi, ataupun "vonis" dokter tentang "usia yang tersisa".

Masyarakat lantas percaya saja akan keampuhan batu Ponari, racikan aneka herbal (yang kadang dicampur juga dengan obat konvensional secara sembunyi-sembunyi), atau keajaiban tusuk jari. Mereka berbondong menjadikan pengobatan alternatif sebagai metode pengobatan utama.

Pengobatan alternatif yang dipasarkan dengan menawarkan segala "kecanggihan" teknologi juga marak, sebut saja produk air alkali; gelang, kalung, dan cincin magnetik; serta yang terbaru, kacamata ion nano. Padahal, itu semua hanyalah pseudoscience Ironisnya, yang mendewakan khasiatnya tetap banyak meski informasi yang mematahkan klaim itu sudah ramai diberitakan.

Naturopati

Salah satu bentuk pengobatan alternatif yang sedang naik daun ialah naturopati. Pengobatan seperti yang digaungkan dr Zaidul Akbar ini mengandalkan ramuan alami untuk membantu tubuh menyembuhkan diri.

Praktisi naturopati lainnya juga menjalankan sejumlah terapi yang melibatkan konsumsi rempah-rempah, pijat, akupuntur, latihan fisik, dan konseling nutrisi. Target pengobatannya mencakup mind, body, and soul.

Sejatinya, naturopati posisinya ialah pelengkap pengobatan konvensional. Bahkan, naturopati juga dapat dimanfaatkan untuk memelihara kesehatan, mencegah terjangkit penyakit.

Akan tetapi, tak semua racikan herbal betul-betul berkhasiat seperti yang digembar-gemborkan sejumlah praktisi naturopati. Ada juga yang manfaatnya dipertanyakan secara ilmiah. Di sinilah letak jebakannya.

Bicara soal ilmiah, saya jadi teringat euforia akar bajakah yang merebak pada Agustus lalu. Meskipun masih berupa temuan dari pengujian praklinik alias baru diaplikasikan pada hewan oleh siswa SMAN 2 Kota Palangkaraya Kalteng, akar bajakah sudah laris diborong sebagai obat kanker.

Beberapa bulan kemudian, pamornya redup seiring dengan sepinya pemberitaan. Namun, penjualan akar bajakah tetap berlanjut dalam skala yang jauh lebih kecil.

 

Metafisika

Pengobatan alternatif yang menyangkut metafisika juga tak kalah populer. Salah seorang praktisinya, Ningsih Tinampi, menjadi buah bibir setelah ramai diberitakan tentang antrean panjang peminat jasanya.

Konon, kalau daftar sekarang, pasiennya baru terlayani pada 2021.

Kabarnya, Ningsih yang praktik di Pandaan, Pasuruan, Jawa Timur memang tak hanya menangani gangguan supranatural. Penyakit yang mengusik fisik semata juga ia jabani pengobatannya.

Ningsih tak sendiri dalam hal ini. Banyak praktisi lain yang sudah lebih dulu hadir dengan aneka "kehebatannya", mulai dari memindahkan penyakit manusia ke hewan sampai mengoperasi tanpa meninggalkan bekas luka.

Pasien pengobatan "orang sakti" berasal dari berbagai lapisan kelas masyarakat. Sembuhkah mereka? Saking banyaknya yang pernah menjajal, saya yakin pembaca bisa menjawabnya dari pengalaman orang-orang di lingkungan terdekat.

Rumah sakit

Awal pekan ini, RS Umum Pusat Sanglah, Denpasar, Bali, membuka Poliklinik Tradisional dan Komplementer yang menyediakan layanan akupuntur, energi prana, dan hipnoterapi. Poliklinik ini sekaligus dapat dipromosikan sebagai destinasi health tourism yang tengah digagas pemerintah.

Sementara itu, sembilan tahun lalu, Poliklinik Rosela RS Soeradji Tirtonegoro di Klaten, Jawa Tengah, sudah lebih dulu memperkenalkan layanan komplementer alternatif jamu. Produk jamunya dipasok oleh Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional Tawangmangu, Jawa Tengah.

Keberadaan layanan seperti ini sebetulnya bisa menjadi solusi bagi masyarakat yang menggemari pengobatan alternatif. Di sisi lain, masyarakat juga terjaga dari praktik pengobatan alternatif yang menyesatkan serta menguras keuangan keluarga. Apalagi, tak jarang praktisi pengobatan alternatif mengiklankan jasanya dengan mendeskreditkan layanan medis konvensional.

Ini yang mengerikan. Betapa tidak, ketika pasien penyakit kronis meninggalkan obat-obatannya, perburukan kondisi rawan terjadi. Uang melayang, nyawa pun menjadi taruhannya.

Skeptis dulu

Sesuatu yang instan dan ajaib memang menggoda untuk dicoba. Walaupun biaya tak pula murah, kenyataannya banyak orang rela mengeluarkan isi koceknya dalam-dalam demi memperbesar harapan kesembuhannya.

Mereka menggantungkan asa setinggi-tingginya ketika menjajal suatu pengobatan alternatif. Risiko teperdaya testimoni sesama pasien ataupun iklan sang tabib mereka anggap hal lumrah.

Itu sebabnya masyarakat harus tetap kritis dalam mencerna informasi kesehatan. Cobalah untuk bersikap skeptis terlebih dahulu ketika menerima informasi baru. Sedihnya, otoritas kesehatan biasanya terlambat merespons fenomena yang berkembang di masyarakat.

Jadi, lebih baik luangkan waktu untuk mengecek kebenarannya. Di era internet, seharusnya masyarakat lebih mudah lagi untuk mencari informasi pembanding. Apalagi, forum konsultasi medis secara gratis juga banyak tersedia di ujung jari pengguna gawai. Bergabung dalam forum kesehatan atau mengikuti akun media sosial tokoh medis yang kompeten juga dapat membuka akses terhadap informasi yang kredibel.

Ayo, jadi pasien cerdas, jangan mudah teperdaya!

*penulis adalah wartawan republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement