Senin 02 Dec 2019 14:23 WIB

Pengamat Sebut Reuni 212 Gerakan Politik Populisme Kanan

Reuni 212 sah-sah saja dilakukan dalam sebuah negara demokrasi.

Massa yang tergabung dalam Alumni 212 mengibarkan bendera meeah putih saat aksi reuni 212 di lapangan Monumen Nasional, Jakarta, Senin (2/12).
Foto: Republika/Thoudy Badai
Massa yang tergabung dalam Alumni 212 mengibarkan bendera meeah putih saat aksi reuni 212 di lapangan Monumen Nasional, Jakarta, Senin (2/12).

REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG -- Pengamat politik dari Universitas Katolik Widya Mandira Kupang Mikhael Raja Muda Bataona mengatakan, Reuni 212 sebagai sebuah gerakan politik populisme kanan. "Jika dikaji secara empirik, sebenarnya gerakan Reuni 212 itu sebuah gerakan politik, dan lebih spesifik lagi adalah sebuah gerakan politik populisme kanan," kata Mikhael Mikhael Raja Muda Bataona, di Kupang, Senin, terkait Reuni 212.

Artinya, sebagai sebuah gerakan politik, Reuni 212 sah-sah saja dilakukan dalam sebuah negara demokrasi. Yaitu sebagai sebuah media politik untuk mengonsolidasi kekuatan politik dalam rangka memberi tekanan kepada rezim yang berkuasa.

Baca Juga

Dalam batasan itu, menurut dia, maka gerakan ini baik. Tetapi gerakan ini akan merisaukan ketika tujuan dan motif kegiatan ini dibelokkan untuk hal-hal destruktif bagi negara dan pemerintahan yang sah.

"Tapi saya melihat bahwa gerakan hari ini, Senin (2/12) berakhir dengan baik sehingga patut diapresiasi. Mungkin yang bisa dibaca adalah dari narasi-narasi yang disampaikan para tokoh yang memang sangat eksplisit menjelaskan arah gerakan ini yaitu sebagai oposisi pemerintah," katanya.

Hal berikut yang juga bisa dibaca dari Reuni 212 adalah apakah tema gerakan ini masih relevan dengan situasi saat ini?. Itulah yang mungkin dipersoalkan oleh masyarakat.

Sebab kasus awal sampai lahirnya gerakan ini sudah diselesaikan secara hukum. Dan pelakunya sudah divonis oleh pengadilan dan menjalankan hukuman sampai selesai. Karena itu, urgensi kegiatan ini memberi tanda tanya kepada masyarakat yang paham soal politik nasional, kata pengajar Ilmu Komunikasi Politik dan Teori Kritis pada Fakultas Ilmu Sosial Politik Unwira itu.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement