REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Daryono mengatakan, pembahasan sesar aktif sebagai pemicu gempa seharusnya kini sudah mulai dilakukan. Sebab, keberadaan sesar aktif menurutnya lebih dekat dengan manusia.
"Sebenarnya euforia megathrust itu perlu diakhiri karena tidak adil jika kita tidak memperhatikan sesar aktif yang merupakan sumber gempa yang berada di sekitar kita. Di dekat tempat kita tinggal, anak kita sekolah, tempat kita bekerja," ujar Daryono dalam diskusi kesiapan hadapi bencana gempa bumi dan tsunami di Gedung PBNU di Jakarta pada Jumat (29/11).
Sesar aktif adalah salah satu pemicu gempa bumi yang terletak di darat dan tergolong sebagai gempa bumi kerak dangkal atau shallow earthquake.
Gempa yang disebabkan oleh sesar aktif, menurut Daryono, perlu diwaspadai seperti yang terjadi di Yogyakarta pada 2006 ketika gempa berkekuatan besar mengguncang provinsi itu dengan magnitudo 5,9 yang episenternya berada 25 km selatan-barat daya Yogyakarta.
Selain itu, kata dia, gempa bumi yang terjadi di Palu pada 2018 juga merupakan salah satu gempa yang terjadi akibat sesar aktif dengan pusat gempa berada 26 km utara Donggala dalam kedalaman 10 km. Gempa itu sendiri memakan korban jiwa 2.045 orang.
"Tapi kenapa harus meributkan gempa megathrust yang sebenarnya jarang terjadi," ujar Daryono. Meski demikian, dia mengatakan segala pihak tidak boleh mengesampingkan juga ancaman akan gempa bumi berdorongan besar atau megathrust.
Ahli tsunami purba dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Eko Yuliantomengatakan masyarakat harus mulai mengambil perspektif yang berbeda terkait bencana alam seperti gempa
Gempa, tsunami, letusan gunung berapi dan berbagai peristiwa yang disebut manusia sebagai bencana alam sudah terjadi sejak dulu saat Bumi diciptakan atau nafas bumi, ujar dia. Perbedaannya adalah kini manusia menjadi korban.
Kejadian alam seperti tsunami, menurut dia, sebenarnya sudah beberapa kali terjadi dalam rentang ratusan bahkan ribuan tahun. Dia mengambil contoh seperti gempa bumi Samudera Hindia pada 2004, dilihat dari jejaknya di Thailand selatan, juga pernah terjadi dua kali kejadian serupa di tempat yang sama pada beberapa ribuan tahun lalu.
"Kalau sekarang kita jadi korban, ayo kita introspeksi apa yang harus kita lakukan. Alam tidak melakukan apa-apa, alam melakukan apa yang menjadi kewajibannya, takdirnya," kata Eko.