Jumat 29 Nov 2019 01:12 WIB

Penunjukan Presiden oleh MPR Bukan Solusi Demokrasi

Penunjukan presiden hanya akan memperkukuh tirani elite politik.

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Indira Rezkisari
Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, menilai penunjukan presiden oleh MPR tidak tepat.
Foto: Republika/ Wihdan
Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, menilai penunjukan presiden oleh MPR tidak tepat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini meminta pemerintah memikirkan solusi terkait masalah tingginya biaya politik hingga dampak lain yang terjadi berkenaan dengan pemilihan presiden (Pilpres) secara langsung. Titi mengatakan, pemerintah seharusnya membicarakan mengenai perbaikan kebijakan dalam kerangka hukum pemilu.

"Juga implementasi manajemen penyelenggaraan pemilu yang harus didorong agar permasalahan yang dihadapi bisa diselesaikan, khususnya soal mengatasi politik biaya tinggi dan keterbelahan politik di masyarakat," kata Titi Anggraini di Jakarta, Kamis (28/11).

Baca Juga

Dia mengatakan, solusi dari dampak yang terjadi akibat Pilpres 2019 itu bukan berarti harus mengembalikan pemilihan kepala pemerintahan kepada MPR. Menurutnya, keterbelahan dan politik identitas juga muncul karena kebijakan elite politik.

Mereka, dia mengatakan, memaksakan pemberlakuan ambang batas pencalonan presiden sehingga hanya tersedia dua pasangan calon (paslon) saja dalam pemilu. Akibatnya, sambung dia, terjadi polarisasi berkepanjangan di tengah masyarakat Indonesia.

"Kalau itu yang jadi akar masalahnya, maka lagi-lagi pembuat kebijakan, khususnya partai politik lah yang harus berbenah," tegasnya.

Terkait tingginya biaya politik, Titi meminta pemangku kebijakan harus melakukan analisis dengan jernih. Dia mengatakan, mengakui bahwa secara penyelenggaraan ada biaya cukup tinggi yang dikeluarkan. Tapi itu harus dilihat sebagai sebuah investasi pendidikan politik yang kontributif dalam menjaga kesadaran publik untuk teribat dalam penentuan pemimpinnya.

Menurutnya, bila masyarakat merasa jadi bagian dalam proses bernegara dan hak-haknya dijamin dengan baik untuk bersuara, maka konflik atau benturan antara rakyat dan pemerintah pun bisa dicegah. Hingga pembangunan bisa berjalan dengan baik serta kondusivitas bernegara lebih terjaga.

"Jadi soal biaya tinggi itu indikatornya menjadi relatif," kata Titi lagi.

Titi mengatakan, UU Pemilu bisa menjadi instrumen untuk mendorong perbaikan-perbaikan demokrasi untuk bisa diimplementasikan di pemilu berikutnya. Dia mengatakan, ekses negatif pemilu sesungguhnya dampak dari komitmen elite yang tidak tulus untuk memperbaiki pengaturan dan manajemen pemilu itu sendiri.

Sebelumnya, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj menjelaskan aspirasi kiai NU soal pemilihan presiden dan wakil presiden. Menurutnya, jika menimbang dan melihat mudharat dan manfaat pilpres langsung itu berbiaya tinggi. Terutama biaya sosial ada konflik yang sangat mengkhawatirkan dan mengancam.

Said Aqil mencontohkan seperti kejadian sewaktu Pemilu Serentak 2019 lalu. Dia mengatakan, para kiai dan ulama saat Munas di Pondok Pesantren Kempek Cirebon pada 2012, berpikir mengusulkan pilpres kembali kepada MPR RI demi kuatnya solidaritas persatuan dan kesatuan Republik Indonesia.

Titi menilai, penunjukan kepala negara oleh MPR bukan menjadi solusi dalam negara berdemokrasi. Dia mengatakan, kebijakan itu hanya akan semakin mengokohkan tirani elite mengingat semua diputuskan oleh elite politik.

"Transparansi, akuntabilitas dan partisipasi politik warga akan semakin jauh dalam tata kelola politik dan bernegara. Kepemimpinan bisa semakin otoriter dan meninggalkan rakyat untuk bisa terlibat," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement