Selasa 26 Nov 2019 11:38 WIB

Menolak Yogya Rasa Glodok: 'Yogya Ora Didol'!

Jika tanah Yogya dikuasai oleh para rente, semua akan berubah.

Suasana di Yogyakarta.

Gugatan Kepemilikan Tanah

Kepemilikan tanah sekarang lagi diributkan ole seorang warga keturunan dan menjadi mahasiswa hukum UGM yang bernama Felix Juanardo Winata, 20 tahun, seorang mahasiswa semester 5 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, melayangkan gugatan terkait UU No. 13/2012 tentang Keistimewaan DI Yogyakarta ke Mahkamah Konstitusi.

Adapun permohonan gugatan itu telah diterima panitera MK dengan tanda terima nomor 1926/PAN.MK/XI/2019 tanggal 15 November 2019. Felik mendalilkan legal standing atau posisinya pada dua hal, yakni:

Pertama, sebagai WNI keturunan Tionghoa yang lahir di Jakarta, dan tinggal di Tangerang Kota, Provinsi Banten. Kedua, hak konstitual dia untuk dapat memiliki tanah di DIY telah dilanggar oleh UU Keistimewaan.

Dalam permohonannya, Felix menyebut pengaturan tanah di Pasal 7 ayat (2) huruf d dalam UU Keistimewaan telah melegitimasi aturan lama, yakni Instruksi Wakil Kepala Daerah DIY Nomor K.898/I/A/1975 tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak Atas Tanah Kepada Seorang WNI Non-Pribumi.

Sementara dalam Instruksi tahun 1975 ini, tiga golongan warga non-pribumi yang dilarang punya kepemilikan tanah yakni “Europeanen" (Eropa, kulit putih); “Vreemde Oosterlingen" (Timur Asing) yang meliputi orang Tionghoa, Arab, India maupun non-Eropa lain. Hal itu jelas dan sudah mengikat.

Adapun gugatan itu juga terjadi sebelumnya dan dilakukan pada tahun 2015 oleh Handoko WNI keturunan juga menggugat Instruksi Wakil Kepala Daerah Nomor K.898/I/A/1975 ke PTUN Yogyakarta dan Mahkamah Agung. Gugatan itu ditolak oleh kedua institusi, karena Instruksi 1975 bukan kewenangan diskresi PTUN Yogyakarta.

Sedangkan MA mengaku tak memiliki kewenangan untuk uji materi atas keputusan tersebut, karena Instruksi 1975 bukan bagian dari undang-undang. Bahkan gugatan tersebut juga didukung pengusaha di Malioboro.

Yogya Ora Didol

Ketika muncul lagu Jogja Ora di dol karya Jogja Hip Hop Foundation  dalam rangka memberikan kado spesial untuk kota Yogyakarta tercinta. Lagu itu memberikan pesan tersendiri bagi warga Yogya atau pemerintahnya, juga buat Sri Sultan sebagai Gubernur dan Raja Ngayogjokarto Hadiningrat.

Jogja Ora Didol atau Jogja Tidak Dijual merupakan pernyataan keras sekaligus sikap mereka melihat kondisi kotanya saat ini. Mereka berharap, Jogja bakal tetap menjadi kota istimewa yang mempertahankan nilai luhur kebudayaan yang saat ini mulai luntur dengan pembangunan mall atas nama modernitas.

Keresahan dalam tuntutannya, mereka ingin agar penyelenggara pemerintahan Yogja bisa mempertahankan kebudayaan serta mengajak warganya turut serta dalam pembangunan yang lebih manusiawi. Sementara dalam kondisi seperti sekarang ini kita bisa melihat, bagaimana potensi tanah di Yogya menjadi daya tarik para tuan tanah yang sekarang menguasai diberbagai wilayah di Indonesia.

Sebagai anak yang lahir dan besar di Yogya, kebetulan sekarang tinggal di Jakarta, saya merasa prihatin kalau tanah di Yogya dikuasai oleh para tuan tanah. Nanti saya tidak akan melihat lagi keakraban warga yang saling bergotong royong, tanpa harus meninggikan pagar rumahnya. Saya juga tidak akan melihat guyup rukun warga yang membuat daya tarik wisata tersendiri. Sebab kepemilikan tanah yang dibebaskan pasti akan merusak kultur budaya setempat.

Coba bayangkan saja, jika tanah Yogya dikuasai oleh para rente, semua akan berubah. Yogya akan menjadi Glodok Yogya dan cukup daerah Pajeksan saja yang berubah fungsi, dari tempat para jaksa (Pajekso). Yogja tetap harus menjadi Daerah Istimewa dan  suasana keramahan yang melekat sampai sekarang selalu dipertahankan. Jangan sampai lagu Yogyakarta karya Kla Project, syairnya akan berubah menjadi...

Terhanyut aku akan nostalgi

Saat kita sering luangkan waktu

Nikmati bersama

Suasana Glodok Yogya....

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement