REPUBLIKA.CO.ID, CILILIN -- Kecintaan pada dunia pendidikan dan anak-anak khususnya mereka yang kurang mampu membuat Edi Juharna rela melepas pekerjaannya sebagai guru di salah satu sekolah formal yang berada di Parongpong, Kabupaten Bandung Barat. Ia kemudian bersama tiga orang pendidik lainnya membangun Sekolah Alam Insan Litera di Saung Eceng Bening Saguling, Cihampelas, Kabupaten Bandung Barat.
Jika sebelumnya Edi yang akrab disapa Edi Koben ini memperoleh penghasilan dari keringat mengajar, kini ia sama sekali tidak digaji atau dibayar. Ia bersama tiga orang rekannya bahu-membahu merawat sekolah dengan dana operasional yang diperoleh dari uang yang disisihkan dari usahanya.
Awal mula sekolah berdiri, Edi bercerita dimulai sejak Mei lalu. Sedangkan aktivitas kegiatan belajar mengajar (KBM) dilakukan pada Juli. Sebelas siswa yang bersekolah di Insan Litera, menurutnya, merupakan anak-anak kurang mampu, yatim, dan dhuafa.
"Latar belakang sekolah berdiri dari rasa keprihatinan melihat anak-anak di sekitar Saguling banyak yang terdemotivasi untuk melanjutkan sekolah. Kata anak-anak di sekolah banyak bullying, banyak tugas, PR. Pokoknya sekolah dianggap buat pusing," ujarnya saat ditemui Republika.co.id, Senin (25/11).
Edi Juharna yang akrab disapa Edi Koben, guru Sekolah Alam Insan Litera yang berada dibantaran Saguling, Cihampelas Bandung Barat mengajar tanpa digaji atau dibayar. Bahkan sebagian uang dari usaha berjualannya dipakai untuk operasional sekolah, Senin (25/11).
Akhirnya, Edi mengatakan, anak-anak lebih memilih di rumah membantu orang tuanya memilah sampah rongsokan ataupun berdagang dan kegiatan lainnya. Melihat kondisi tersebut, ia menawarkan anak-anak sekolah di Insan Litera yang menawarkan konsep sekolah berbeda dari yang lain.
"Kami berupaya menghilangkan bullying, tidak ada PR akademik. Yang ada hanya pekerjaan rumah seperti cuci baju, ngepel, nyapu, nyetrika dan mengambil air," ungkapnya.
Sosok yang banyak berkecimpung di dunia kepenulisan ini mengatakan kegiatan tersebut mendorong anak-anak menjadi lebih rajin dan merupakan bagian dari pembentukan karakter. Selain bersekolah formal, siswa pun katanya dilatih untuk terampil memanfaatkan sampah plastik dan eceng gondok.
"Satu orang (guru) ngajar ngaji dan hafalan Alquran. Satu orang ngajar olahraga. Satu orang ngajar matematika dan sains. Satu orang lagi, yaitu saya ngajar semuanya," katanya.
Selama di sekolah, lulusan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) ini mengatakan, anak-anak mendapatkan materi hanya enam mata pelajaran. Dalam proses pembelajaran, Edi mengatakan tidak terdapat format baku dalam belajar. Katanya, apapun aktivitas yang sedang dilakukan anak dianggap bagian dari belajar.
"Peraturan sekolah cuma satu, selalu berbuat baik. Kalau ada anak yang berbuat salah ya cepat istighfar dan meminta maaf," ujarnya seraya tertawa.
Tidak hanya itu, Edi pun mengungkapkan jika anak-anak yang bersekolah tidak dipungut biaya sepeserpun. Namun, mereka diminta untuk membayar sekolah dengan sampah. Cara itu dilakukan katanya untuk menumbuhkan kesadaran bahwa sampah memiliki manfaat ekonomis dan bisa membiayai sekolah.
"Alasan bayar pakai sampah, pertama, tidak tega menarik bayaran ke mereka. Karena orang tuanya banyak yang tidak mampu," katanya. Pembayaran memakai sampah pun diharapkan membuat anak lebih bijak mengelola sampah yang berujung bisa menjaga lingkungan.
Meski begitu, hasil uang dari sampah-sampah yang dikumpulkan belum bisa menutupi operasional sekolah atau jauh dari cukup. Ia pun bersama guru yang lain menyisihkan uang dari hasil berdagang untuk kepentingan sekolah.
"Saya jual air mineral dan buah potong dititip di warung tetangga. Kawan berjualan pisang coklat (piscok) dirumahnya yang jual istrinya," ungkapnya. Ia pun bercerita jika sedang mujur, terdapat pihak yang mengundangnya untuk menjadi narasumber pelatihan menulis. Dananya disisihkan untuk keperluan sekolah.
Tidak hanya itu, kadangkala, Edi mengaku terdapat orang yang memberikan donasi untuk biaya ongkos siswa ke sekolah Induk di Kota Cimahi. Menurutnya, sebulan dua kali para siswa harus bersekolah ke sekolah Induk. Sebelas siswa tersebut katanya membutuhkan biaya Rp 220 ribu untuk sekali berangkat.
Bagi para guru yang mengajar di Sekolah Insan Litera termasuk dirinya mengaku tidak digaji atau dibayar. "Semuanya dapat bayaran unlimited dari Allah SWT," ujarnya tersenyum. Ia yang menetap di Cimahi mengaku pulang pergi ke Cililin tiap Senin hingga Jumat. Edi mengaku ingin fokus membangun sekolah.
Lelaki yang sudah mengajar 11 tahun diberbagai sekolah ini mengaku tidak merasa berat harus mengajar tanpa dibayar. Bahkan harus mengeluarkan kocek untuk menutupi operasional sekolah. Soal rezeki bagi Edi sudah ada yang mengatur, ia pun memilih untuk bertawakal dan percaya kepada pemberi rezeki, Allah SWT.
"Alhamdulillah, jualan saya selalu lancar dan habis saja. Itu yang harus disyukuri. Kita pun jangan leha-leha menjemput rezeki," katanya.
Jika terdapat sekolah atau lembaga yang meminta dirinya menjadi narasumber literasi, ia mengaku selalu menyanggupi undangan tersebut dan berdoa agar bisa memenuhi undangan pada waktunya. "Kan abis jadi pemateri pasti diongkosin," ujarnya sambil tertawa.