REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) kini masih tengah menggodok dan membahas teknis, materi sertifikasi perkawinan. Karena itu, aturan mengenai petunjuk sebelum pernikahan masih menggunakan aturan lama.
Deputi Bidang Koodinasi Perlindungan Perempuan Dan Anak Kemenko PMK Ghafur Akbar Dharmaputra mengatakan, teknis dan materi sertifikasi perkawinan masih dibicarakan lintas kementerian/lembaga terkait dengan organisasi agama seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah dan organisasi masyarakat yang di lapangan.
"Kami sedang berkoordinasi dan mengumpulkan masukan-masukan. Jadi muatannya nantinya sangat variatif dan mempersiapkan supaya calon pengantin butuh program ini," ujarnya saat mengisi diskusi FMB9 bertema "Perlukah Sertifikasi Perkawinan?", di Kemenkominfo, di Jakarta, Jumat (22/11).
Disinggung mengenai bentuk materi dan isi materi, ia tidak mau berkomentar banyak karena masih mengumpulkan masukan seperti Kepala BKKBN, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA), Kementerian Kesehatan, Kemendikbud. Ia hanya memberikan sedikit bocoran, nantinya materi ini terdiri dari berbagai aspek termasuk konseling dengan psikolog mengenai naik turun pernikahan. Ia menambahkan, materi disampaikan dengan bahasa gaul karena kebanyakan calon pengantin dari generasi milenial.
Ia mengklaim nantinya materi disampaikan kepada mereka termasuk pengentasan kemiskinan. Jadi ia mengklaim pemerintah benar-benar mempersiapkan sertifikasi ini menjadi kebutuhan termasuk kesehatan.
"Jadi sesuatu yang terburu-buru kalau tidak dipersiapkan dengan baik maka hasilnya tidak akan baik. Padahal kalau mau menikah harus dipersiapkan," katanya.
Pihaknya berupaya ini memberikan daya ungkit dan kekuatan supaya calon pengantin merasa sertifikasi perkawinan menjadi kebutuhan sebagai bekal saat membina rumah tangga.
"Untuk menikah jangan dilihat sertifikatnya melainkan kebutuhan," katanya.
Pihaknya menargetkan materi dan teknis sertifikasi perkawinan bisa diselesaikan dan diumumkan di 2020 mendatang kemudian bisa diterapkan. Lebih lanjut pihakbya berharap supaya sertifikasi perkawinan ini bisa mengurangi kemungkinan masalah buruk akibat perkawinan seperti perceraian, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), balita bertubuh pendek (stunting), hingga kematian ibu akibat pernikahan dini.