Rabu 20 Nov 2019 19:04 WIB

Komisioner Gugat UU KPK, Minus Basaria dan Marwata

Tiga komisioner KPK hari ini mendaftarkan judicial review UU KPK ke MK.

Ketua KPK Agus Rahardjo saat menyimak tausiyah dari Ulama KH. Ahmad Muwafiq atau Gus Muwafiq pada kegiatan Silaturahmi Kebangsaan dan Doa Bersama untuk Negeri di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (20/11).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Ketua KPK Agus Rahardjo saat menyimak tausiyah dari Ulama KH. Ahmad Muwafiq atau Gus Muwafiq pada kegiatan Silaturahmi Kebangsaan dan Doa Bersama untuk Negeri di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (20/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tiga pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yakni Agus Rahardjo, Laode M Syarif, dan Saut Situmorang resmi mengajukan judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ketua KPK Agus Rahardjo menyatakan, pengajuan judicial review itu terdiri dari uji materiil dan uji formil.

"Hari ini atas nama pribadi, atas nama warga negara Indonesia, kami mengajukan judicial review ke MK. Jadi, ada beberapa orang. Kemudian kami didampingi oleh lawyer-lawyer kami. Kemudian kami nanti mengundang ahli," ucap Agus saat jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (20/11).

Baca Juga

Menurut Agus, KPK sebenarnya tetap menginginkan agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan geluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) KPK. Namun, Presiden Jokowi menyarankan KPK menempuh jaluh MK terlebih dahulu.

"Oleh karena itu kami mengajukan judicial review hari ini," kata Agus.

Wakil Ketua KPK Laode M Syarif memberikan alasan soal pengajuan uji materiil dan uji formil UU Nomor 19 Tahun 2019 mengenai perubahan UU KPK tersebut.

"Ada beberapa hal, misalnya itu tidak masuk prolegnas tiba-tiba muncul. Kedua kalau kita lihat waktu pembahasannya dibuat sangat tertutup. Bahkan tidak berkonsultasi dengan masyarakat, tidak berkonsultasi dengan masyarakat dan bahkan sebagai stakeholder utama, KPK tidak dimintai juga pendapat," ungkap Syarif.

Selanjutnya, kata dia, KPK pun tidak pernah menerima draf revisi UU KPK dan Daftar Inventaris Masalah (DIM) secara resmi. Naskah akademik revisi UU KPK, kata Laode, juga tidak pernah diberikan kepada KPK.

"Apa kalian pernah membaca naskah akademik itu dan banyak lagi dan bertentangan juga dengan aturan, dalam hukum, dan UU tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Jadi banyak hal yang dilanggar. Itu dari segi formilnya," kata Syarif.

Sementara dari segi materiil, ia mengungkapkan bahwa banyak pertentangan pasal dalam UU KPK yang baru. Laode menduga pertentangan pasal terjadi akibat dari terburu-burunya proses revisi UU KPK.

"Misalnya ada banyak pertentangan pasal, seperti Pasal 69D dengan Pasal 70C. Bahkan sebenarnya dulu ada kesalahan tentang pengetikan antara syarat dari komisioner apakah 40 tahun atau 50 tahun. Jadi banyak sekali. Memang kelihatan sekali UU ini dibuat secara terburu-buru. Oleh karena itu, kesalahannya juga banyak," tuturnya.

Terkait tidak adanya dua pimpinan KPK lainnya, yakni Basaria Panjaitan dan Alexander Marwata yang tidak turut mengajukan judicial review, Syarif mengaku bahwa keduanya tetap mendukung. Diketahui, Marwata adalah pimpinan KPK terpilih untuk masa jabatan 2019-2023.

"Ya mereka pada kesempatan yang sama tidak memasukkan nama tetapi mendukung," kata Laode.

Dari perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi, Kurnia Ramadhana menyatakan, terdapat total 13 orang yang telah mengajukan judicial review UU KPK ke ke MK. Untuk koalisi masyarakat sipil, kata dia, pada Rabu ini pihaknya mengajukan judicial review" dari segi formil terlebih dahulu.

"Hari ini kita resmi mengajukan judicial review untuk ranah formil. Untuk materiil kami masih mengumpulkan beberapa bukti untuk memperkuat permohonan," ucap Kurnia.

Berikut 13 pemohon judicial review UU KPK ke MK:

  1. Agus Rahardjo
  2. Laode M Syarif
  3. Saut Situmorang
  4. Erry Riyana Hardjapamekas
  5. Moch Jasin
  6. Omi Komaria Madjid
  7. Betti S Alisjahbana
  8. Hariadi Kartodihardjo
  9. Mayling Oey
  10. Suarhatini Hadad
  11. Abdul Ficar Hadjar
  12. Abdillah Toha
  13. Ismid Hadad

Status pegawai KPK

Selain mendaftarkan judicial review UU KPK ke KPK, Ketua KPK Agus Rahardjo juga menyinggung soal status pegawai KPK. Ia meyakini pegawai KPK tidak kehilangan independensi meskipun nantinya akan berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN) berdasarkan UU KPK hasil revisi.

"Sebetulnya saya meyakini budaya KPK, ini kan checks and balances-nya sangat-sangat kuat. Pimpinannya kemudian apa pun statusnya dia. Apakah dia seperti pegawai yang dulu maupun ASN, itu saya meyakini independensi dia masih sangat kuat," ucap Agus.

Menurut dia, budaya menjaga independensi tersebut telah tertanam sejak KPK berdiri pada 2003.

"Oleh karena itu, saya kok tidak khawatir itu walau pun nanti dia ASN mereka akan kehilangan independensi. Itu budaya sejak KPK berdiri tahun 2003. Rasanya sudah cukup kuat," ucap Agus.

Soal perubahan status menjadi ASN tersebut, Agus menyatakan bahwa tim transisi yang telah dibentuk masih membahasnya. Selain itu, kata dia, negosiasi dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) juga masih berjalan.

Adapun, tim transisi tersebut dibentuk untuk meminimalisasi efek kerusakan atau pelemahan terhadap KPK pascarevisi UU KPK tersebut. "Jadi, kami kan sudah membentuk tim transisi diketuai Pak Sekjen (Sekjen KPK Cahya Hardianto Harefa). Negosiasi perundingan terus berjalan, harapan kita semua semua dikonversi menjadi ASN. Kemudian langkah apa supaya konversi itu bisa terwujud itu pasti nanti akan dilakukan langkah-langkah berikutnya," ujar Agus.

Diketahui, pada Pasal 24 ayat 2 UU Nomor 19 Tahun 2019 atas Perubahan UU KPK disebutkan bahwa pegawai KPK merupakan anggota korps profesi pegawai aparatur sipil negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

photo
Lini Masa Singkatnya Pembahasan Revisi UU KPK

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement