REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sumatra Utara Saidurrahman bersama Tuan Guru Batak Syekh Dr H Ahmad Sabban Elrahmaniy Rajagukguk, dan Romo Antonius Benny Susetyo menemui Menko Polhukam Mahfud MD. Kedatangan mereka untuk membahas persoalan deradikalisasi.
Pertemuan itu berlangsung di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Jakarta, Rabu (20/11). Rektor UIN Sumatra Utara Saidurrahman usai bertemu dengan Mahfud mengatakan, pertemuan itu membahas soal kebinekaan dan kerukunan beragama dalam rangka deradikalisasi. "Kerukunan jadi kata kunci jadi semua umat beragama harus memastikam umatnya mengawal ke-Indonesia-an kita," kata Saidurrahman.
UIN sebagai pendidik, kata dia, dititipkan tugas untuk memberi ajaran agama yang moderat sehingga secara tarbiah (pendidikan) dapat mengurangi radikalisasi, khususnya di Sumatra Utara yang kerap terjadi tindakan radikal. "Iya, kalau kami kan melihat secara falsafah bahwa radikal itu ada di semua lini," ucapnya.
Oleh karena itu, upaya pendidik meyakinkan secara tarbiah pendidikan ajaran untuk moderat dalam beragama. Dengan demikian, radikalisasi dapat berkurang.
Karena UIN adalah universitas Islam, pihaknya harus memastikan ajaran agama Islam adalah ajaran yang rahmatan lil alamin, agama yang moderat, yang bisa merangkul semua keragaman di Indonesia. Saidurrahman mengatakan bahwa Sumut pun rawan terkena paham radikalisme karena provinsi tersebut merupakan miniatur Indonesia.
Di Sumut, lanjut dia, juga beraneka ragam agama, suku yang harus dirawat kerukunannya. Tuan Guru Batak (TGB) Ahmad Sabban Elrahmaniy Rajagukguk mengatakan bahwa pertemuan dengan Menko Polhukam dihadiri oleh tokoh lintas agama. "Itu terkait dengan dakwah kerukunan dan kebangsaan. Jadi, baru-baru ini kita dikejutkan dengan adanya bom Medan. Artinya, kami sebagai tokoh agama dari Sumut, bahkan untuk bangsa sudah memberi warning," katanya.
Dakwah kerukunan kebangsaan harus senantiasa dikembangkan dan memastikan di setiap wilayah masyarakat jangan muncul ajaran-ajaran yang mungkin menimbulkan kekerasan. "Seluruh tokoh agama harus hadir untuk memastikan bahwa enggak ada gerakan radikalis karena kami memang tidak protektif terhadap ajaran yang berkembang," katanya.
Dengan demikian, kata dia, diperlukan dakwah yang humanis dan dakwah kerukunan kebangsaan. Artinya, mengajarkan agama yang damai, saling mencintai di tengah keragaman, kebinekaan. "Itu adalah jihad. Jadi, jangan dianggap seperti itu mendegradasi keimanan," kata Ahmad Sabban.
Sementara itu, Romo Benny Susetyo menanggapi soal adanya bom bunuh diri di Mapolrestabes Medan beberapa waktu lalu yang dianggap tindakan tersebut jauh dari ajaran agama. "Yang dilakukan pertama-tama ini kan persoalan budaya kematian, dan budaya kematian itu orang yang sudah tercuci otaknya tidak mengenal itu agama apa," ucapnya.
Akan tetapi, orang itu yang dikatakan agama itu barang kali diperalat untuk kepentingan politik sesaat hanya untuk mencapai tujuan. Dalam hal ini, menurut dia, yang dikorbankan adalah orang yang tidak paham, yang sebenarnya diperalat.
Romo Benny Susetyo menyerukan seluruh pihak harus mulai bersama-sama memerangi tindakan tersebut. Ia lantas menyinggung sistem keamanan semesta untuk diterapkan ke depannya.
"Ke depan harapannya gimana kita hadapi terorisme itu, ini musuh kemanusiaan, ini enggak kenal agama, ini ideologi kematian yang dibangun dari sentimen kebencian dan dibangun dari sebuah paradigma yang mereka anggap ini jalan suci," kata Benny.