REPUBLIKA.CO.ID, oleh Intan Pratiwi, Deddy Darmawan Nasution, Rahayu Subekti
Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) memastikan, pelanggan listrik golongan 900 volt ampere (VA) rumah tangga mampu (RTM) akan dicabut subsidinya mulai Januari 2020. Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana mengatakan, pencabutan subsidi untuk golongan pelanggan 900 VA RTM merupakan keputusan bersama antara pemerintah dan DPR.
"Menurut keputusan dengan DPR kan semua yang disubsidi, kecuali yang 900 VA RTM di keluarkan kan," kata Rida di Kementerian ESDM, Senin (18/11).
Menurut Rida, atas keputusan dikeluarkannya golongan pelanggan 900 VA dari penerima subsidi, tarif listrik golongan pelanggan tersebut mengalami penyesuaian mengikuti golongan pelanggan non-subsidi golongan 1.300 VA. Pencabutan subsidi untuk 900 VA non-subsidi akan berlaku mulai Januari 2020.
"Kalau berdasarkan keputusan itu kan secara langsung harus dinaikin per Januari," tutur Rida.
Untuk diketahui, saat ini golongan 900 VA RTM dikenakan tarif sebesar Rp 1.352 per kilo Watt hour (kWh), sedangkan tarif golongan non-subsidi 1.300 VA Rp 1.467,28 per kWh. Jumlah pelanggan listrik 900 VA RTM sebanyak 6,9 juta pelanggan.
Rida memperkirakan, dengan pencabutan subsidi listrik untuk golongan pelanggan 900 VA RTM, tagihan listriknya akan naik Rp 29.000 per bulan. "Lagian juga kan naiknya Rp 29.000. Kalau tagihan rata-ratanya ya, kurang lebih Rp 29.000-an per bulan artinya nggak seribu per hari kan," ujar Rida.
Pemangkasan subsidi listrik adalah hasil persetujuan pemerintah dan Badan Anggaran DPR beberapa waktu lalu, sebesar Rp 7,4 triliun pada 2020. Sebagai konsekuensinya, mulai awal 2020 PT PLN (Pesero) akan menerapkan automatic adjustment bagi pelanggan listrik 900 VA.
Automatic adjustment adalah mekanisme penyesuaian tarif listrik secara otomatis berdasarkan perhitungan tiga variabel pembentuk harga pokok penyediaan (HPP) listrik. Yakni harga minyak mentah Indonesia (ICP), inflasi, dan kurs rupiah terhadap dolar AS.
Kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
Sebelumnya, Ekonom Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan pemerintah diminta untuk kembali mengkaji rencana kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan rencana pencabutan subsidi listrik kelompok 900 VA.
Kenaikan iuran BPJS Kesehatan dan pencabutan subsidi listrik 900 VA yang direncanakan pada awal tahun depan bisa memperlemah daya beli masyarakat dan akan menggerus semakin dalam pertumbuhan ekonomi.
"Kebijakan untuk pencabutan subsidi listrik kelompok 900 VA, misalnya harus dievaluasi ulang. Begitu juga dengan kenaikan iuran BPJS karena berisiko melemahkan daya beli," ujar dia.
Adapun soal kenaikan iuran BPJS Kesehatan, telah disepakati lewat Rapat Kerja Gabungan Jaminan Kesehatan Nasional di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada 2 September 2019 lalu. Iuran BPJS Kesehatan yang tidak naik hanya peserta mandiri yang merupakan Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) serta Bukan Pekerja (BP) kelas III.
Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo mengatakan, iuran kelas I dan II akan mulai dinaikkan pada Januari 2020. Ia mengatakan, kenaikan iuran sesuai usulan Kementerian Keuangan. Iuran kelas I akan naik dari Rp 80 ribu menjadi Rp 160 ribu per jiwa per bulan. Sedangkan, iuran kelas II naik dari Rp 59 ribu menjadi Rp 120 ribu.
"Naik 1 Januari 2020 sehingga kita bisa sosialisasi untuk masyarakat. Tarif iuran kenaikan sesuai usulan Menteri Keuangan. Kita menutup defisit dengan cara menyesuaikan iuran," kata Mardiasmo kepada wartawan usai mengikuti rapat.
Sementara itu, khusus iuran PBI yang ditanggung pemerintah juga naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42 ribu per jiwa per bulan. Kenaikan PBI tersebut telah diberlakukan per 1 Agustus 2019. Karena kenaikannya dilakukan sebelum terbit perpres, pemerintah akan mencairkan dana kenaikan iuran PBI kepada BPJS Kesehatan setelah perpres terbit.
"PBI memang kita terapkan mulai 1 Agustus tapi uangnya dicarikan kalau perpres revisi tentang JKN sudah diterbitkan," ujar dia.
Tekornya BPJS Kesehatan
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, pencabutan tersebut dilakukan tidak disertai transparansi. Tulus mengatakan, pencabutan subsidi listrik tersebut karena sudah termasuk golongan mampu.
"Pemerintah jangan terlalu mudah menstigmatisasi bahwa mereka adalah golongan mampu tanpa deskripsi dan verivikasi data yang transparan, akuntabel bahkan kredibel," kata Tulus, Sabtu (7/9).
Tulus mengatakan, pemerintah harus menunjukkan dengan indikator yang terukur. Beberapa di antaranya mengenai faktor yang membuat 24,4 juta pelanggan tersebut digolongkan mampu sehingga subsidi dicabut.
"Ini harus jelas apakah karena pendapatannya mengalami peningkatan? Atau indikator apa? Jangan jangan hanya sulapan saja," tutur Tulus.
Dia menilai, jika pemerintah bermaksud mengurangi tingginya subsidi energi maka lebih baik memangkas subsidi gas elpiji 3 kilogram (kg). Sebab, menurut Tulus pemanfaatan gas elpiji 3 kg banyak yang salah sasaran, dibanding subsidi listrik.
Tulus mengatakan distribusi gas elpiji 3 kg bersifat terbuka sehibgga siapapun dapat membeli. "Tak peduli rumah tangga miskin atau rumah tangga kaya. Padahal peruntukan gas elpiji 3 kg adalah untuk rumah tangga miskin," ungkap Tulus.